Apa yang tidak dimiliki oleh
Indonesia?. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508
pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara).
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia. Indonesia
memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu,
bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan terdiri
dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput sebesar
7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14% dengan lahan
irigasi seluas 45.970 km.
Tetapi semua kekayaan alam
indonesia yang melimpah ruah dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing.
Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial
seperti emas, nikel, gas, dan minyak bumi.
Indonesia adalah penghasil gas
alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia) juga produsen
timah terbesar kedua. Indonesia menempati peringkat pertama dalam produk
pertanian, yaitu: cengkeh (cloves) dan pala (nutmeg), serta peringkat dua dalam
karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).
Dari begitu banyak sumber daya
alam yang dimiliki Indonesia, Masyarakat Indonesia hanyalah sebagai buruh di
tempat-tempat tambang tersebut. Padahal kekayaan tersebut adalah milik
Indonesia. Tetapi masyarakat Indonesia tidak bisa merasakan kekayaan tersebut.
Kemiskinan masih menjadi potret buram di negeri kita. Jumlah penduduk miskin
Indonesia hingga Maret 2011 berdasarkan informasi Badan Pusat Statistik
tercatat sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk.
Kemiskinan tidak hanya terjadi di
perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga
tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan
struktural.
Karena tidak bisa mengelola
sumberdaya alamnya sendiri, maka masyarakat Indonesia hanya bisa menjadi buruh
di perusahaan-perusaahaan asing tersebut. Menyedihkan…. Masyarakat Indonesia
menjadi masyarakat yang miskin di Negara yang kaya.
Indonesia pernah punya cita-cita
besar
Memang, sejarah dunia sudah
memberitahukan kepada kita, bahwa tidak ada bangsa yang lekas menjadi sempurna,
menjadi bangsa besar, tanpa melalui suatu fase perjuangan yang hebat. Jepang,
sebuah negara ekonomi kapitalis yang maju, dihasilkan oleh perjuangan yang maha
hebat. Demikian pula dengan bangsa-bangsa besar lainnya, seperti AS, Tiongkok,
dan Rusia.
Indonesia pernah punya cita-cita
besar, bukan saja untuk kemakmuran bangsa Indoenesia sendiri, tetapi kemakmuran
seluruh umat manusia di dunia, yaitu penghapusan penghisapan manusia atas
manusia (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa
(exploitation de nation par nation).
Sayang sekali, setelah Presiden
Soekarno, seolah-olah cita-cita bangsa besar itupun hilang dari cita-cita
nasional kita. Sebaliknya, setelah 66 tahun menjadi bangsa yang merdeka secara
politik, kini bangsa Indonesia memasuki fase penjajahan kembali
(rekolonialisme), yang menempatkan bangsa ini kembali menjadi bangsa kuli di
antara bangsa-bangsa, –kembali menjadi “een natie van koelis, en een koeli
onder de naties.”
Salah satu penyebab kemunduran ini
hemat saya adalah tidak adanya karakter dari pemimpin-pemimpin nasional kita.
Mereka bisa saja mengaku sebagai nasionalis, demokrat sejati, atau pro-rakyat,
tetapi itu hanya sekedar pernyataan di mulut saja. Pada prakteknya, mereka
adalah agen-agen penjual bangsa dan seluruh kekayaan alam yang dimiliki negeri
ini.
Ada sebuah pertanyaan kecil:
bagaimana bisa membangun sebuah bangsa apabila seluruh potensi nasionalnya
sudah digadaikan? Lebih jauh lagi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa
jikalau tidak mempunyai jiwa dan karakter?. Presiden Soekarno pernah berkata:
“Sumber kekuatan kita bukan hanya kekayaan alam yang melimpah, jumlah rakyat
yang berpuluh-puluh juta, letak geografis yang strategis, ilmu dan teknik yang
sedang dipertumbuhkan, tetapi juga adalah semangat dan jiwa bangsa kita.”
Sekarang ini, harapan masa depan
itu sudah hampir terkubur seluruhnya oleh penindasan kolonialisme baru, yaitu
neoliberalisme. Sementara para pemimpin kita, hanya sibuk menghamparkan “karpet
merah” untuk masuknya modal asing dan perusahaan-perusahaan asing.
Mahatma Gandhi berkata:
“Keteraturan dalam sebuah bangsa bukan dilihat dari jumlah milyuner yang
dimiliki, tetapi dari ketiadaan bencana kelaparan di masyarakatnya.” Ibu negara
Tiongkok, Soong Ching-Ling juga pernah berkata: “Rakyat memang sabar, tetapi
perut tak dapat menunggu lama.” Kesabaran rakyat itu hanyalah ada, jika rakyat
melihat adanya prospek (harapan-kedepan) ke arah tercapainya cita-cita politik
nasional atau cita-cita sosio-nasional.
Menyelamatkan Mimpi Indonesia
Mimpi Indonesia harus
diselamatkan. Untuk itu diperlukan komitmen semua kalangan dalam membenahi
bangsa kita dan menggelorakan kembali perjuangan nasional yang
anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Mari kita bergotong royong membangun
ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain
sebagainya.
Tentu saja, peran aktif pemerintah
dalam hal ini juga dibutuhkan untuk menyatukan, mensinergikan, dan
melipatgandakan seluruh kekuatan jika ingin memenangi perang melawan kemiskinan
tersebut. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only.” Kemajuan
bangsa kita tidak akan wujud dengan sekadar wacana, “public discourse”, tetapi
melalui agenda aksi yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar