Kamis, 28 Juli 2016

Restoratif Justice Upaya Menyelamatkan Masa Depan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH)



Salah satu bentuk penanganan terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 dengan menyatakan bahwa proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak. 

Kedua peraturan itu, tampak jelas adanya upaya untuk melindungi ABH, khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dimana pemidanaan anak sebaiknya diposisikan sebagai opsi terakhir atau “The Last Resort”. Sehingga dalam konteks penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif saat ini, sudah menjad tuntutan. Prinsip keadilan restoratif saat ini sedang didorong untuk penanganan ABH. Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kini sedang dirancang pemerintah dan DPR juga tampaknya akan banyak mengakomodasi prinsip ini.

Di level eksekutif bahkan telah ada kesepakatan bersama antara ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendorong upaya ini. Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4). Dalam implementasinya telah juga dipertegas oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dalam tulisannya di Harian Kompas yang mengimbau para hakim agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa tindakan daripada pidana penjara.

Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Akan tetapi kenyataannya, banyak ABH yang melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara seperti hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju. Kasus Raju kemudian menimbulkan pro dan kontra.
Anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia.

Kasus seorang siswa SD di Cinere, Depok, menusuk temannya hingga sekarat pada Kamis, 16 Februari. AMN, 13 tahun, menusuk Saiful Munif, 13 tahun, dengan pisau dapur sebanyak delapan kali di Jalan Puri Pesanggrahan 1, Perumahan Bukit Cinere Indah, Depok. Kejadian berawal ketika pelaku tidak terima saat Syaiful meminta agar telepon seluler yang dicurinya dikembalikan pada Kamis, 16 Februari 2012. AMN akhirnya menjemput korban di rumahnya untuk berangkat sekolah, dan setelah itu AMN menusuk korban hingga korban sekarat

Kasus tersebut, menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia yang berhadapan dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana anak. Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi dalam sebuah wawancara yang dimuat di Republika Online, mengatakan,  dalam menangani kasus penusukan yang dilakukan oleh siswa SD, pihak terkait dihimbau agar bertindak bijaksana. Polisi harus melakukan mediasi antara keluarga korban dan pelaku untuk menempuh jalur musyawarah

Tentu saja semua ini butuh perhatian yang serius dari semua pihak karena mengingat anak merupakan penerus generasi bangsa yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini.
Perubahan paradigma tentang keadilan dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal dalam menangani permasalahan ABH.

Keadilan Restoratif
Menurut Kriminolog Inggris Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah “Proses dimana pihak-pihak berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk implikasinya di kemudian hari.” Perkembangan pemikian tentang pemidanaan sendiri, saat ini bergerak ke arah otoritas baru dimana, penyelesaian perkara pidana merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi semua pihak.

Masih menurut Gayus teori-teori pemidanaan sebelumnya melihat pemidanaan sebagai suatu tindakan yang dipaksakan (terutama oleh lembaga pengadilan) dan pelaku melaksanakannya sebagai tindakan terpaksa, maka unsur kesukarelaan menjadi keadilan restoratif sebagai suatu pandangan atas pemidanaan yang berbeda.

Sistem hukum seharusnya dapat menggambarkan suatu sistem dispute prevention, settlement dan resolution. Artinya hukum dapat dijadikan norma yang mengatur hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam aktivitas ekonomi sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa antara para pihak. Hukum dapat menciptakan suatu sistem menyelesaikan sengketa secara menyeluruh. Perkembangan ilmu hukum mengarah kepada pentngnya hukum sebagai Dispute Resolution.

Konsep restoratif justice melalui Alternative Dispute Resolution adalah pilihan penyelesaian diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Dalam menentukan sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Sistem ini memformulasikan keadilan menjadi rumusan para pihak,yaitu korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi Jaksa dan putusan hakim. Kelemahan yang dikuatirkan dari penerapan restorative justice ini adalah dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang (diskresi) dari para penegak hukum.

Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Restorative Justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya.

Penanganan bagi anak yang berhadapan dengan hukum yang sekarang ada sepertinya sudah dianggap tepat, tuntas, dan tidak bermasalah. Kalaupun ada masalah, hanya dianggap sebagai soal teknis di lapangan, kesalahan penempatan orang, atau kasuistis belaka. Jarang sekali ada yang menilik, kemunculan masalah-masalah itu justru akibat dari sistemnya sendiri yang sebenarnya memang rapuh.

Akibatnya, yang senantiasa terbayang bagi para pelaku tindak kriminal adalah terali besi penjara. Tidak terkecuali bagi para pelaku tindak kriminal yang masih anak-anak. Penjara seolah hanyalah satu-satunya tempat hukuman, tanpa terlalu mempertimbangkan, apakah hukuman di penjara akan efektif atau tidak, siapa pelakunya, dan tindakan kriminal macam apa yang dilakukan.  

Dalam konteks ini, Penjara diibaratkan sebagai kunci Inggris. Apapun kejahatannya, bagaimanapun latar belakang pelakunya, separah apapun kejahatannya, terali besi yang bernama penjara itulah yang akan menjadi solusinya. Seseorang yang sekaligus melakukan pencurian, pemerkosaan, dan pembunuhan, misalnya, diperlakukan tidak berbeda dengan seseorang yang mencuri seekor ayam yang mungkin akan ditukarkannya dengan beberapa liter beras. Sedangkan yang  membedakan praktis hanya lama atau sebentarnya hukuman.
Keadilan restorative atau restorative justice saat ini ada baiknya dicoba. Bukan hanya sambil menunggu disahkannya RUU Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi Undang-undang. Penulis melihat hal ini perlu untuk menghindari anak-anak trauma. Tentu saja lebih diperuntukkan untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

Soal satu ini bukan tanpa pro dan kontra. Pro dan Kontra, tentu akan timbul. Terutama pada keluarga korban, dan juga soal kejahatan yang dilakukan. Ambil contoh kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak. Apakah dapat menerima bentuk penyelesaian hukum dengan cara restorative? Pertanyaan itu yang umumnya akan timbul.
Memang dalam meminimalisir kasus yang merugikan anak, Negara/pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Namun hal tersebut belum mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana.

Berkaitan dengan penanganan kasus kasus yang melibatkan anak  telah dilakukan berbagai upaya untuk “menyelamatkan” anak yang berhadapan dengan hukum diantaranya dengan adanya Kesepakatan Bersama dalam penanganan penanganan kasus anak bermasalah dengan hukum melalui Surat Keputusan Bersama antara Mentri Hukum dan HAM,Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,Menteri Sosial,Jaksa Agung,Kepolisian RI serta Mahkamah Agung.
Adapun Surat Keputusan Bersama ini bertujuan :
  1. Terwujudnya persamaan persepsi di antara jejaring kerja dalam penanganan anak bermasalah hukum;
  2. Meningkatnya koordinasi dan kerja sama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi Anak bermasalah hukum;
  3. Meningkatnya efektivitas penanganan anak yang berhadapan dengan hukum secara sistematis komprehensif, berkesinambungan dan terpadu.

Sedangkan substansi dari Surat Keputusan Bersama ini :
  1. Kepolisian, dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum agar mengedepankan Kepentingan Terbaik Anak, mencari alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh kembang anak serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan anak dari proses peradilan formal;
  2. Kejaksaan sebagai tindak lanjut telah dikeluarkannya Surat Edaran Jampidum 28 Februari 2010 Nomor. B 363/E/EJP/02/2010 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum;
  3. Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran MA RI Nomor MA/KUMDIL/31/1/k/2005 tentang Kewajiban tiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan,
  4. Kementerian Hukum dan HAMsebagai implementasi dari Surat Keputusan Bersama telah ditetapkan Kebijakan ABH melalui Inpres Nomor 3 tahun 2010 dan SOP ABH di Bapas dan Rutan serta Lapas, serta koordinasi APH di tingkat pusat melalui Mahkumjapol;
  5. Kementerian Sosial, kepedulian pemerintah terhadap ABH dilakukan melalui berbagai program kesejahteraan sosial anak melalui penyediaan panti sosial dan RPSA serta pusat trauma. Bantuan kepada anak korban kekerasan dan penelantaran berupa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak dalam bentuk bantuan tunai bersyarat khususnya anak dari keluarga miskin. Di samping itu juga dibentuk kelompok-kelompok kerja perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH, dan lain-lain;
  6. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, implementasi Surat Keputusan Bersama ini dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PP2PA Nomor 15 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan ABH.

Dalam perjalanannya penanganan kasus anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat karena dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum. Sebagai anggota PBB sudah sewajarnya Indonesia juga menghormati dan menerapkan produk–produk hukum yang dihasilkan berkenaan dengan ABH seperti: The Tokyo Rules (peraturan standar minimum PBB untuk upaya-upaya penahanan), JDL/Havana Rules (peraturan PBB untuk perlindungan anak yang dicabut kebebasannya), Beijing Rules (peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai Administrasi Peradilan bagi anak), Riyadh Guide Lines (Pedoman PBB tentang pencegahan tindak pidana anak).
Munculnya wacana penerapan restorative justice yang dalam Inpres Nomor 3/2010 dan Inpres Nomor 10 tahun 2010 telah tersirat dengan “ JUSTICE FOR ALL “dan Keadilan Restoratif patutlah menjadi acuan para aparat penegak hukum di negeri kita dalam menangani ABH.

Karakteristik restorative justice adalah membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kuantitasnya di samping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;.melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar,sekolah dan teman dekatnya; menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah tersebut;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.

Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya Aparat Penegak Hukum menerapkan pendekatan Restorative Justice/keadilan restoratif sambil menunggu disahkan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sangat dibutuhkan koordinasi antara Aparat Penegak Hukum agar terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) untuk menyamakan persepsi dalam penanganan ABH.

Untuk mengarah kepada hal tersebut, maka dibutuhkan kesadaran dari Aparat Penegak Hukum dalam menerapkan keadilan restoratif lebih menggunakan Moral Justice (keadilan menurut nurani) dan memperhatikan Sosial Justice (keadilan masyarakat) selain wajib mempertimbangkan Legal Justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan) sehingga tercapainya Presice Justice (Penghargaan tertinggi untuk keadilan).

Dalam penerapannya tidak semua kasus anak dapat diberlakukan restorative justice dan kriterianya adalah sebagai berikut: Bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak, kenakalan anak tersebut yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius menyangkut kehormatan dan bukan pelanggaran lalu lintas.

Dalam pelaksanaan restorative justice melibatkan berbagai pihak yang bersengketa di dalam musyawarah pemulihan penyelesaian kasus diantaranya :
  1. Korban dan keluarga korban karena korban adalah bagian dari konflik, kepentingan korban dalam proses pengambilan keputusan serta konflik merupakan persoalan keluarga.
  2. Pelaku dan keluarga karena pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan dan keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan karena usia pelaku yang belum dewasa.
  3. Wakil masyarakat guna mewakili kepentingan dari lingkungan lokasi peristiwa pidana terjadi dan kepentingankepentingan yang bersifat publik.
Penulis menilai, Jika kita memahami makna restorative justice dan konsisten menerapkannya maka beberapa hal yang dicapai antara lain berkurangnya jumlah anak penghuni lapas dan bukan tidak mungkin akan menyelamatkan anak anak yang berhadapan dengan hukum dari masa depan suram yang diakibatkan pengalaman hidup di balik terali besi dan trauma dari proses hukum yang berjalan.








Rabu, 27 Juli 2016

Upaya Yang Harus Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Kemiskinan di Indonesia, Apa Saja?





Masalah kemiskinan dianggap sebagai salah satu hal yang menghambat proses pembangunan sebuah negara. Salah satu negara yang masih dibelit oleh masalah sosial ini salah satunya adalah indonesia. Angka kemiskinan di tingkat masyarakat masih cukup tinggi. Meskipun oleh lembaga statistik negara, selalu dinyatakan bahwa setiap tahun angka kemiskinan cenderung menurun.


Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang di hadapi oleh seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini. Ia di pengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, akses barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Oleh karena itu, kemiskinan wajib untuk ditanggulangi, sebab jika tidak tertanggulangi akan dapat mengganggu pembanguan nasional. Dalam konteks ini, beberapa upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menggerakkan sektor real melalui sektor UMKM. Beberapa kebijakan yang menyangkut sektor ini seperti program KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Upaya strategis yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan UMKM antara lain, pertama, menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan UMKM meliputi regulasi dan perlindungan usaha. Kedua menciptakan sistem penjaminan bagi usaha mikro. Ketiga menyediakan bantuan teknis berupa pendampingan dan bantuan menejerial. Keempat memperbesar akses perkreditan pada lembaga keuangan. Dengan empat langkah tersebut, maka sektor UMKM akan lebih bergerak yang pada akhirnya akan berakibat pada pengurangan angka kemiskinan.


Untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah memiliki peran yang besar. Namun dalam kenyataannya, program yang dijalankan oleh pemerintah belum mampu menyentuh pokok yang menimbulkan masalah kemiskinan ini. Ada beberapa program pemerintah yang sudah dijalankan dan dimaksudkan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan ini. Seperti di antaranya adalah program Bantuan Langsung Tunai yang merupakan kompensasi yang diberikan usai penghapusan subsidi minyak tanah dan program konversi bahan bakar gas. Selain itu ada juga pelaksanaan bantuan di bidang kesehatan yaitu jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesnas. Namun kedua hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan angka kemiskinan. Bahkan beberapa pakar kebijakan negara menganggap, bahwa hal tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Baik ada atau tidak ada masalah kemiskinan di indonesia. Negara wajib menyediakan jaminan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945.

Langkah Mengatasi Masalah Kemiskinan:

untuk itu kiranya pemerintah perlu membuat ketegasan dan kebijakan yang lebih membumi dalam rangka menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Beberapa langkah yang bisa dilakukan diantaranya adalah :

  1. menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran. Karena pengangguran adalah salah satu sumber penyebab kemiskinan terbesar di indonesia.
  2. Menghapuskan korupsi. Sebab korupsi adalah salah satu penyebab layanan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak bisa menikmati hak mereka sebagai warga negara sebagaimana mestinya.
  3. Menggalakkan program zakat. Di indonesia, islam adalah agama mayoritas. Dan dalam islam ajaran zakat diperkenalkan sebagai media untuk menumbuhkan pemerataan kesejahteraan di antara masyarakat dan mengurangi kesenjangan kaya-miskin. Potensi zakat di indonesia, ditengarai mencapai angka 1 triliun setiap tahunnya. Dan jika bisa dikelola dengan baik akan menjadi potensi besar bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
  4. Menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok. Fokus program ini bertujuan menjamin daya beli masyarakat miskin/keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama beras dan kebutuhan pokok utama selain beras. Program yang berkaitan dengan fokus ini seperti :  
    • Penyediaan cadangan beras pemerintah 1 juta ton
    • Stabilisasi/kepastian harga komoditas primer.
  5. Meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar. Fokus program ini bertujuan untuk meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. Beberapa program yang berkaitan dengan fokus ini antara lain : 
    • Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs); 
    • Beasiswa siswa miskin jenjang Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA);   
    • Beasiswa untuk mahasiswa miskin dan beasiswa berprestasi; 
    • Pelayanan kesehatan rujukan bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di kelas III rumah sakit.
  6. Menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Program yang berkaitan dengan fokus ketiga ini antara lain :
    • Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di daerah perdesaan dan perkotaan
    • Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah
    • Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
    • Penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat.


Sabtu, 23 Juli 2016

MASALAH SOSIAL PENGANGGURAN, MENGAPA DAN BAGAIMANA MENYIKAPINYA?


Membicarakan masalah pengangguran, maka pada umumnya orang akan mengidentikkan dengan sebuah personifikasi orang yang lontang lantung tanpa memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun keluarganya. Sebuah predikat yang dibentuk dan dilekatkan kepada seseorang yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penganggur memang tidaklah salah, akan tetapi jika dilihat dari sisi orangnya hal tersebut bukanlah sebuah tujuan untuk  menjadi seorang pengangguran. Pengangguran adalah sebuah akibat dari minimnya lapangan kerja di satu sisi dan rendahnya bekal keterampilan (skill) yang dimiliki seseorang pada sisi yang lain.
Pengangguran dapat  di definisikan sebagai sebuah kondisi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan atau sedang mencari pekejaan., pengangguran di definisikan sebagai ketidak mampuan angkatan kerja (labor forcé) untuk memperoleh pekerjaan sesuai yang mereka butuhkan dan mereka inginkan.  Secara paralel, tingginya angka pengangguran memiliki sumbangan positif terhadap tingginya angka kemiskinan. Begitu pula angka kemiskinan yang tinggi juga dapat menyumbang tingginya penyimpangan sosial seperti  tindak kejahatan, perkosaan, prostitusi, narkoba, gelandangan dan pengemis.

Pengangguran terjadi dimana-mana, baik di negara maju maupun di Negara yang sedang berkembang di daerah perkotaan maupun pedesaan. Ada berbagai penyebab terjadinya penganggura, antara lain:
  1. Keterbatasan jumlah lapangan kerja, sehingga tidak mampu menampung seluruh para pencari kerja.
  2. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki para pencari kerja, sehingga para pencari kerja tidak mampu mengisi lowongan kerja karena tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan.
  3. Keterbatasan informasi, yakni tidak memiliki informasi dunia usaha mana yang memerlukan tenaga kerja serta persyaratan apa yang diperlukan
  4. Tidak meratanya lapangan kerja. Daerah perkotaan banyak tersedia lapangan pekerjaan sedangkan di pedesaan sangat terbatas. Akibatnya  terjadi urbanisasi
  5. Kebijakan pemerintah yang tidak tepat, yakni pemerintah belum mampu mendorong perluasan dan pertumbuhan sector modern. Pertumbuhan dan perluasan sector modern membutuhkan adanya investasi yang besar untuk mendukungnya, sehingga jika pemerintah belum mampu menarik investor yang besar maka pertumbuhan dan perluasannya akan terbatas.
  6. Rendahnya upaya pemerintah untuk melakukan pelatihan kerja guna meningkatkan skill para pencari kerja. Akan tetapi di tahun-tahun sekarang sudah banyak balai latihan kerja(BLK) yang berdiri di daerah-daerah untuk meningkatkan keterampilan para pencari kerja.

Pengangguran merupakan masalah yang selalu hampir ada dalam setiap perekonomian. Secara umum, pengangguran didefinisikan sebagai ketidakmampuan angkatan kerja (labor force) untuk memperoleh pekerjaan sesuai yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Dengan kata lain pengangguran merujik pada situasi atau keadaan  dimana seseorang menghadapi ketiadaan kesempatan kerja.
Ada beberapa alternative yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pengangguran, yaitu:

Pertama, pemerintah hendaknya menyalin kerjasama dengan swasta untuk mencari jalan keluar yang lebih baik. Hal ini dikarenakan swasta mempunyai dan untuk menggerakkan investasi. Investasi akan terjadi jika investor memiliki kepastian “keamanan” atas dana yang diinvestasikan tersebut, sehingga pemerintah harus mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk berusaha.

Kedua, alternatif yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi jumlah pengangguran yang terus meningkat itu antara lain, pembenahan sektor pendidikan. Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia  kerja berakibat kurang terserapnya angkatan kerja yang terdidik di pasar kerja. Angkatan kerja memerlukan tambahan ketrampilan untuk dapat lebih cepat terserap di pasar kerja. Bentuk tambahan keterampilan itu berupa keahlian yang bersifat aplikatif yang dibutuhkan di dunia kerja, seperti keahlian komputer, bahasa asing, perbengkelan, dan bentuk ketrampilan yang spesifik lainnya.

Ketiga, pendorongan motivasi masyarakat untuk berwiraswasta pada berbagai bidang yang memiliki prospek perkembangan. Sudah saatnya mengubah stigma yang ada di masyarakat bahwa setelah mendapatkan pendidikan formal, maka ukuran keberhasilannya adalah mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan atau pegawai. Dengan dorongan dan bekal kewiraswastawaan, maka akan tercipta kesempatan-kesempatan kerja baru sehingga secara simultan mendorong perekonomian secara keseluruhan.

Keempat, mengurangi pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi karena tingginya pertumbuhan penduduk akan mengakibatkanburden of dependency ratio yang tinggi pula.
Dari berbagai alternatipdi atas yang menjadi solusi permasalahan yang paling tepat adalah dengan cara berwiraswasta.Mengapa demikian karena Selama orang masih tergantung pada upaya mencari kerja di perusahaan tertentu, pengangguran akan tetap menjadi masalah pelik.Berwiraswastaadalah seseorang yang dapat melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Kewirausahaan adalah sikap, jiwa, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bemilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan  merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif, kreatif, berdaya, bercipta, berkarsa dan bersahaja dalam berusaha.

Dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya atau  kiprahnya. Seseorang yang memiliki jiwa dan sikap wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang  telah dicapainya. Dari waktu ke waktu, hari ke  hari,  minggu ke minggu selalu mencari peluang untuk meningkatkan usaha  dan kehidupannya. Ia selalu berkreasi dan berinovasi tanpa berhenti, karena dengan berkreasi dan berinovasilah semua peluang dapat diperolehnya. Wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya.


Selain itu bukan tidak mungkin seorang wirausaha juga tidak memiliki resiko. kemungkinan resiko-resiko yang terjadi pada seorang wirausaha adalah

  1. Kehilangan modal baik yang sudah ditanam dan akan ditanamkan ke dalam perusahaan
  2. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, di masa sekarang ataupun masa depan
  3. Kehilangan mata pencaharian untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
  4. Kehilangan kendali atas kekuasaan yang selama ini dimilikinya (decision-making) karena ada pengalihan gaya bisnis keluarga menjadi gaya bisnis professional
  5. Kehilangan kepercayaan – pada diri sendiri dan pada orang lain
  6. Kehilangan motivasi untuk berjuang

Keluhan-keluhan seperti yang disebutkan di atas seharusnya tidak perlu terjadi jika para wirausahawan sudah mempersiapkan infrastruktur sumber daya manusia sejak keputusan pengembangan perusahaan dibuat. Dalam masalah sosial pengagguran proses evaluasi sangatlah di perlukan setelah di ambilnya sebuah keputusan,karena kita akan mampu mengevaluasi terhadap resiko-resiko yang kemungkinan akan muncul setelah adanya keputusan itu di ambil. Untuk tercapainya sebuah tujuan terkadang sub system harus ada yang diarahkan atau bahkan di korbankan, dalam suatu pilihan yang telah di tetapkan. tujuannya agar sebuah keputusan dapat tercapai sesuai rencana yang telah di tetapkan.sehingga jika tejadinya penyimpangan atau kemungkinan-kemungkinan buruk dapat terevaluasi secara cepat,tepat dan efisien.

PENYEBAB MUNCULNYA ANAK JALANAN, APA FAKTORNYA?




Anak jalanan, sering kita dengar dalam kehidupan yang sangat menyedihkan ini. Kehidupan anak jalanan biasanya paling identik dengan jalanan. Tetapi, sekarang ini di jalan-jalan raya, terminal, stasiun, bahkan tempat-tempat wisata, tempat-tempat ibadah selalu kita lihat mereka disana. Mereka mengamen, meminta-minta, bahkan mencopet dompet-dompet orang yang bukan hak milik mereka.
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya.
Ada beberapa pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli hukum, antara lain:
a.       Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.

b.       Peter Davies memberikan pemahaman bahwa fenomena anak-anak jalanan sekarang ini merupakan suatu gejala global. Pertumbuhan urbanisasi dan membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling parah keadaannya adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang semakin besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup keluarga dan bagi dirinya sendiri.


Adapun anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a.             Anak jalanan on the street/road
Kategori anak jalanan on the street/road atau anak-anak yang ada di jalanan, hanya sesaat saja di jalanan, dan meliputi dua kelompok yaitu kelompok dari luar kota dan kelompok dari dalam kota.
b.             Anak jalanan of the street/road
Kategori anak jalanan of the street/road atau anak-anak yang tumbuh dari jalanan, seluruh waktunya dihabiskan di jalanan, tidak mempunyai rumah, dan jarang atau tidak pernah kontak dengan keluarganya. 

Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum, antara lain:
  1. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, temapt hiburan) selama 3-24 jam sehari;
  2. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, dan sedikit sekali yang tamat SD); 
  3. Berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, dan beberapa di antaranya tidak jelas keluarganya);
  4. Melakukan aktivitas ekonomi  (melakukan pekerjaan pada sektor informal).

Adanya ciri umum tersebut di atas, tidak berarti bahwa fenomena anak jalanan merupakan fenomen yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka menunjukkan adanya keberagaman. Keberagaman tersebut antara lain : latar belakang keluarga, lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan, pergaulan, dan pola pengasuhan. Sehingga tidak mengherankan jika terdapat keberagaman pola tingkah laku, kebiasaan, dan tampilan dari anak-anak jalanan.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab munculnya fenomena anak jalanan, yaitu:
  1. Sejumlah kebijakan makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang munculnya fenomena anak jalanan.
  2. Modernisasi, industrialisasi, migrasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang.
  3. Kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar.
  4. Terkait permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua dengan bekerja ( di jalanan )
  5. Orang tua “mengkaryakan”sebagai sumber ekonomi keluarga pengganti peran yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.
Faktor Pendorong
Namun banyaknya anak jalanan yang menempati fasiltas-fasilitas umum di kota-kota, bukan melulu disebabkan oleh faktor penarik dari kota itu sendiri. Sebaliknya ada pula faktor-faktor pendorong yang menyebabkan anak-anak memilih hidup di jalan. Kehidupan rumah tangga asal
anak-anak tersebut merupakan salah satu faktor pendorong penting. Banyak anak jalanan berasal dari keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absennya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah. Faktor lain yang semakin menjadi alasan anak untuk lari adalah faktor ekonomi rumah tangga. Dengan adanya krisis ekonomi
yang melanda Indonesia, semakin banyak keluarga miskin yang semakin terpinggirkan. Situasi itu memaksa setiap anggota keluarga untuk paling tidak bisa menghidupi diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini, sangatlah mudah bagi anak untuk terjerumus ke jalan.

Korban dan Pelaku Kriminalitas
Tidak adanya perlindungan orang dewasa ataupun perlindungan hukum terhadap anak-anak ini, menjadikan anak-anak tersebut rentan terhadap kekerasan. Kekerasan bisa berasal dari sesama anak anak itu sendiri, atau dari orang-orang yang lebih dewasa yang menyalahgunakan mereka, ataupun dari aparat. Bentuk kekerasan bermacam-macam mulai dari dikompas (dimintai uang), dipukuli, diperkosa, ataupun dirazia dan dijebloskan ke penjara. Namun, anak-anak itu sendiri juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau tindak kriminal seperti mengompas teman-teman lain yang lebih lemah, pencurian kecil-kecilan, dan perdagangan obat-obat terlarang.

Aku Anak Siapa?
Penanganan terhadap anak-anak jalanan ini harus bersifat terpadu, tidak hanya melibatkan anak itu sendiri, tapi juga keluarga (kalau masih ada), dan masyarakat (termasuk lembaga pemerintah dan negara). Sangatlah sulit memberdayakan anak-anak itu untuk kembali ke masyarakat karena mereka telah terbiasa hidup dengan norma-norma mereka sendiri, yang kadang kala tidak sesuai atau bahkan bertabrakan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.? Akan lebih sulit lagi apabila? mereka sama sekali sudah terlepas dari orang tua atau keluarga. Mereka perlu diberdayakan untuk bisa melaksanakan fungsinya kembali sebagai pelindung anak. Pemberdayaan juga perlu dilakukan terhadap masyarakat untuk bersedia membuka mata dan hati menerima anak-anak itu sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.

Banyak masyarakat yang bersikap apriori terhadap anak-anak jalanan ini. Mereka mengganggap anak-anak itu sebagai sumber gangguan dan kegaduhan, yang perlu disingkirkan jauh-jauh dari mereka.? Semakin banyaknya jumlah anak jalanan juga menunjukkan bukan hanya kegagalan keluarga dan masyarakat tapi juga negara dalam hal ini. Bukankah Indonesia adalah negara peserta yang telah meratifikasi konvensi hak anak PBB yang dalam salah satu pasalnya menyebutkan negara wajib menjamin dan memberikan perlindungan, dan perawatan terhadap kesejahteraan anak?? Bukankah anak-anak tersebut merupakan anak-anak bangsa ini juga?




Kemiskinan di Negara Kaya, Mengapa?






Apa yang tidak dimiliki oleh Indonesia?. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia. Indonesia memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan terdiri dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput sebesar 7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14% dengan lahan irigasi seluas 45.970 km. 


Tetapi semua kekayaan alam indonesia yang melimpah ruah dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial seperti emas, nikel, gas, dan minyak bumi.


Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia) juga produsen timah terbesar kedua. Indonesia menempati peringkat pertama dalam produk pertanian, yaitu: cengkeh (cloves) dan pala (nutmeg), serta peringkat dua dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).


Dari begitu banyak sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, Masyarakat Indonesia hanyalah sebagai buruh di tempat-tempat tambang tersebut. Padahal kekayaan tersebut adalah milik Indonesia. Tetapi masyarakat Indonesia tidak bisa merasakan kekayaan tersebut. Kemiskinan masih menjadi potret buram di negeri kita. Jumlah penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2011 berdasarkan informasi Badan Pusat Statistik tercatat sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk.


Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.


Karena tidak bisa mengelola sumberdaya alamnya sendiri, maka masyarakat Indonesia hanya bisa menjadi buruh di perusahaan-perusaahaan asing tersebut. Menyedihkan…. Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin di Negara yang kaya.



Indonesia pernah punya cita-cita besar

Memang, sejarah dunia sudah memberitahukan kepada kita, bahwa tidak ada bangsa yang lekas menjadi sempurna, menjadi bangsa besar, tanpa melalui suatu fase perjuangan yang hebat. Jepang, sebuah negara ekonomi kapitalis yang maju, dihasilkan oleh perjuangan yang maha hebat. Demikian pula dengan bangsa-bangsa besar lainnya, seperti AS, Tiongkok, dan Rusia.


Indonesia pernah punya cita-cita besar, bukan saja untuk kemakmuran bangsa Indoenesia sendiri, tetapi kemakmuran seluruh umat manusia di dunia, yaitu penghapusan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).


Sayang sekali, setelah Presiden Soekarno, seolah-olah cita-cita bangsa besar itupun hilang dari cita-cita nasional kita. Sebaliknya, setelah 66 tahun menjadi bangsa yang merdeka secara politik, kini bangsa Indonesia memasuki fase penjajahan kembali (rekolonialisme), yang menempatkan bangsa ini kembali menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa, –kembali menjadi “een natie van koelis, en een koeli onder de naties.”


Salah satu penyebab kemunduran ini hemat saya adalah tidak adanya karakter dari pemimpin-pemimpin nasional kita. Mereka bisa saja mengaku sebagai nasionalis, demokrat sejati, atau pro-rakyat, tetapi itu hanya sekedar pernyataan di mulut saja. Pada prakteknya, mereka adalah agen-agen penjual bangsa dan seluruh kekayaan alam yang dimiliki negeri ini.


Ada sebuah pertanyaan kecil: bagaimana bisa membangun sebuah bangsa apabila seluruh potensi nasionalnya sudah digadaikan? Lebih jauh lagi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa jikalau tidak mempunyai jiwa dan karakter?. Presiden Soekarno pernah berkata: “Sumber kekuatan kita bukan hanya kekayaan alam yang melimpah, jumlah rakyat yang berpuluh-puluh juta, letak geografis yang strategis, ilmu dan teknik yang sedang dipertumbuhkan, tetapi juga adalah semangat dan jiwa bangsa kita.”


Sekarang ini, harapan masa depan itu sudah hampir terkubur seluruhnya oleh penindasan kolonialisme baru, yaitu neoliberalisme. Sementara para pemimpin kita, hanya sibuk menghamparkan “karpet merah” untuk masuknya modal asing dan perusahaan-perusahaan asing.


Mahatma Gandhi berkata: “Keteraturan dalam sebuah bangsa bukan dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, tetapi dari ketiadaan bencana kelaparan di masyarakatnya.” Ibu negara Tiongkok, Soong Ching-Ling juga pernah berkata: “Rakyat memang sabar, tetapi perut tak dapat menunggu lama.” Kesabaran rakyat itu hanyalah ada, jika rakyat melihat adanya prospek (harapan-kedepan) ke arah tercapainya cita-cita politik nasional atau cita-cita sosio-nasional.



Menyelamatkan Mimpi Indonesia

Mimpi Indonesia harus diselamatkan. Untuk itu diperlukan komitmen semua kalangan dalam membenahi bangsa kita dan menggelorakan kembali perjuangan nasional yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Mari kita bergotong royong membangun ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya.


Tentu saja, peran aktif pemerintah dalam hal ini juga dibutuhkan untuk menyatukan, mensinergikan, dan melipatgandakan seluruh kekuatan jika ingin memenangi perang melawan kemiskinan tersebut. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only.” Kemajuan bangsa kita tidak akan wujud dengan sekadar wacana, “public discourse”, tetapi melalui agenda aksi yang nyata.


Jumat, 22 Juli 2016

MENGENAL ISLAM WETU TELU DI DESA BAYAN LOMBOK





Pada zaman dahulu bayan dipimpin oleh seorang Raja atau disebut Datu Bayan yang bergelar susuhunan Ratu Emas Bayan Agung. Silsilah menyebutkan bahwa Raja Bayan bersaudara dengan 18 dari hasil perkawinannya dengan beberapa istri dan selir. Saudara–saudara Raja Bayan kemudian menyebar dan beranak pinak ke seluruh pulau lombok. Sejarah mencatat dari hasil perkawinan Raja Bayan dengan istri pertamanya mempunya dua orang putra yang bergelar Pangeran Mas Mutering Jagad dan Pengeran Mas MuteringLangit kedua pangeran inilah yang kemudian meneruskan memerintah dan berkuasa di daerah Bayan. Datu Pangeran Mutering Langit sebagai yang tertua berkedudukan dibayan timur deberikan mandat untuk menjalankan pelaksanaan adat Gama.


Sementara Datu Pangeran Mas Putering Jagad berkedudukan di Bayan Barat diberikan tugas untuk menjalankan pelaksanaan luir Gama . Kedua Pangeran Datu Mas tersebut menjalankan tugas-tugasnya dalam bidang sosial kemasyarakatan dan dalam menjaga alam lingkungan dibantu oleh Titi Emas Rempung berasal dari loloan ,Titi mas Puncan Surya yang berasal dari Karang Bajo dan Titi Mas Pakel Yang berasal dari Karang Salah.Sedangkan dalam menjalankan bidang keagamaan dibantu oleh Titi Mas pengulu dan Bebe Antasalam .Wetu Telu dalam bahasa indonesia bisa diartikan waktu tiga dimana wetu telu ini, bisa dikatakan praktik unik karena sebagian masyarakat suku sasak yang mendiami pulau lombok dalam menjalankanAgama Islam . Ditengarai bahwa praktik unikini terjadi karena para penyebar islam padamasa lampau yang berusaha mengenalkan islam ke masyarakat sasak pada waktu itu secara bertahap , sehingga para mubalik meninggalkan pulau lombok sebelum mengajarkan ajaran islam dengan secara lengkap dan sempurna . Saat ini penganut sudah sangat berkurang dan hanya terbataspada generasi – generasi tua di daerah tertentu , sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan raktik tersebut . Dalam sebuah cerita yang telah disampaikan oleh para pengarang sejarah wetu telu di pulau lombok bahwa praktik tersebut bertahan karena para Wali yang menyebarkan Agama Islam pertama kali tersebut tidak sempat menyelesaikan ajarannya . Sehingga masyarakat pada waktu itu terjebak pada masa peralihan , para muridnya yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap . Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukan penganut Wetu Telu pada masa sekarang atau zaman modern . Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat tidak dikesampingkan agar tetap berimbang dan seimbang.


Adapun pendapat lain yang menyatakan bahwa Wetu Telu Bukan Agama akan tetapi merupakan prodak manusia yang mana semua ini masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan animisme,dinamisme , dan hindu.Kepercayaan dan pendapat yang telah menyebarluaskan pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.Pandangan masyarakat luas yang berkembang seperti ini sangat disesalkan oleh semua tokoh adat,tokoh agama dan masyarakat atau komunitas adat Bayan pada khususnya, terlebih secara tertulis telah dipublikasikan melalui sebuah buku yang berjudul Satu Agama Banyak Tuhan, karya Kamarudin Zaelani yang diterbitkan oleh percetakan Pantheon Media Pressindo bulan Maret 2007lalu, isi yang tertuang yang ada dalam buku tersebut dinilai sangat mendiskriditimasi komunitas adat Bayan karena sumber yang ditemui masih sepihak dan belum memahamiapa sebenarnya Wetu Telu tersebut.Keluhan tersebut langsung dilontarkan beberapa Tokoh adat, Tokoh Agama, tokoh Masyarakat komunitas adat Bayan Kecamatan Bayan, KLU, seperti, Raden Gedarip (64), Raden Jambe, Haji Amir (63) dan Kardi Am.a.“Haji Amir”Tokoh adat sekali gus tokoh Agama yang juga mantan Kepala Desa Loloan, Bayan, KLU priode tahun 1968-1998, menuturkan, “ Wetu Telu itu adalah filosofi yang diyakini komunitas adat Bayan yang memiliki arti, makna serta penjabaran yang sangat luas dan mendalam tentang kehidupan manusia, Tuhan dan lingkungannya, yang kesemuanya itu tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, dimana folosofi ini juga kental dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islam.“Wetu Telu juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau sistim Pemerintahan) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu dengan yang lainnya . Filosofi lain juga meyakini Wetu dan Metu itu yakin adanya Tuhan, NaAbi Muhammad Saw, Ibu, Bapak, dan Anak serta menyakini adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama yang dilahirkan dan diturunkan kebumi. Kemudian isi bumi atau alam diyakini dilahirkan melalui tiga cara atau tiga unsur, (Metu) yaitu, Tiwoq (tumbuh), Menteloq (bertelur) dan terakhir melalui proses Beranak.Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu”sebagai akulturasi ajaran islam dan sisa kepercayaan yang lama yakni Animisme , Dinamisme , dan kepercayaan hindu . Selain itu karena menganut kepercyaan ini tidak menjalankan pribadatan seperti agama Islam pada umumnya ( dikenal dengan sebutan “Waktu Lima “ karena menjalankan kewajiban sholat lima waktu ) . Yang wajib menjalankan ibadah- ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiyaiatau pemangku adat ( sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang ) . Kegiatan apapun yang berhubungan dengandaur hidup ( kematian , kelahiran , penyemblihan hewan , selamatan dan sebagai b Cerikut ) harus diketahui oleh kiyaiatau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara – upacara tersebut sebagai ucapan terimakasih dari tuan rumah .


Terjadinya perbedaan antara kepercayaan wetu telu dan kepercayaan waktu lima lantaraan karena ajaran wetu telu masih dipengaruhi kuat oleh kepercayaan animisme ,dinamisme , dan budhisme ,rata –rata pun yang menganut ajaran ini adalah orang yang sudah tua / sesepuh, dan juga karena kurangnya waktu oleh para mubalig untuk menyampaikan syi’ar islam sehingga ajarannya belum dipahami secara menyeluruh , serta dapat dimungkinkan pula kalau ada beberapa masyarakat lokal yang melakukan penolakan terhadap sistem islam yang lebih komplek dibandingkan ajaran mereka sebelumnya, akan tetapi pada dasarnya , Islam dapat berkembang dengan baik di lomnbok tanpa ada komplik dan kekerasan . Dan ini menandakan bahwa Islam mampu berakulturasi karena dengan mudahnya terhadap adat budaya masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh adat leluhur . Adapun faktor – faktor yang dapat menyebabkan Islam di terima dengan baik atau yang bersifat akulturasi oleh masyarakat Lombok ,antara lain ajaran islam mudah diterima oleh masyarakat lokal sehingga islam berkembang tanpa ada suatu konflik ,respon yang baik yang deterima olehpara mubalig dari islam atau masyarakat yang menjadikan syi’ar yang di lakukan oleh Tuan Guru melalui media pendidikan berjalan tanpa hambatan sehingga menambah luas masyarakat yang menganutnya ,dan pada abad xx didirikan basisi sosial islam yang semakin mengukuh kedudukan islam di tengah masyarakat lombok . Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, danMudim) pada dasarnya memiliki tugas pokokyang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut jugasebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranata- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dankeberadaan komunitas adat dan kearifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.


Adapan contoh perubahan yang bersifat akulturasi atau yang bersifat diterima baik oleh masyarakat yang mempercayai kepercayaan animisme,dinamisme khususnya di pulau lombok tanpa ada pemaksaan adalah dapatdigambarkan lain yang sering diucapakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu,


Filosofi ini juga masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam harus tunduk dan patuh terhadap ajaran agama tersebut dan inilah alasan masyarakat lombok yang mempercayai animisme dan dinamisme menerima baik ajaran yang dibawa oleh para wali yang berasal dari jawa yakni ajaran agama islam. Keyakinan lain juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Angin dan Tanah, ketiga unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahlauk hidup yang ada dimuka bumi dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini tetap ada dan dapat dilestarikan.Ketiga unsur lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama,Tokoh Adat yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang juga khusus membidangi sistim pemerintahan.Sedangkan contoh perubahan yang bersifat singkretik adalah bisa kita lihat pada saat masyarakat Islam wetu telu mengadakan Syukuran dalam bentuk zikiran bersama atau zikiran bagi orang sudah meninggal dunia . Dalam melaksanakan zikiran masyarakat wetu telu selalu menyalakan Dupe dalam bahasa sasaknya ( Menyam) seperti apa yang dilakukan oleh orang orangyang memiliki kepercayaan animisme,dinamisme,dan hindu ,pada saat melakukan sembahyang didepan patung yang mereka buat sendiri .


Padahal kita tahu bahwa menyalakan dupe dalam ajaran islam sangat tidak bolehkan oleh agama islam karena kita seolah- olah mendo’akan orang yang meninggal itu masuk neraka dan ini masih dipraktikan oleh masyarakat wetu telu sampai sekarang . Dan contoh inilah yang bisa disebut dengan perubahan yang bersifat singkretik ,karena ada unsur pemaksaan dan dalam ajaran agama islam tidak diperbolehkan menggunakan Dupa


#babab lombok 

Sabtu, 02 Juli 2016

Bagaimana Mereduksi Kekerasan Pada Perempuan






Pada masa jahiliah, kekerasan sering terjadi pada perempuan. Perempuan hanya menjadi budak  nafsu pria, tidak mendapatkan hak apa-apa dari suami maupun orang tua. Bahkan banyak diantara mereka manjdi piala bergilir sahwat binatang lakii-laki demi mendapatkan sesuap nasi. Sejak islam lahir al-Quran mengharamkan kebiasaan itu dan mengajurkan memperlakukan perempuan secara mulia dengan memberi hak-haknya, bukan hanya dai aspek kualitas namun juga dari aspek kuantitas.
Kekerasan atau pemaksaan sangat sering dialami perempuan, baik dalam perkawinan monogamy maupun dalam perkawinan poligami. Karena itu, islam dengan tegas memperingatkan bahwa pelaku poligami lebih cenderung  untuk berbuat tidak adil.
Al-Quran melarang berbuat kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kepada perempuan yang telah dewasa atau orang tua, namun juga terhadap anak-anak yang belum tahu apa-apa. 


Bagaimana usaha yang dilakukan mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis. Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin. 


Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical gender needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu pengetahuan. Untuk itu berbagai aksi untuk menjawab tantangan strategis seperti melakukan kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk merubah kebijakan, tafsir ulang terhadap wacana keagamaan serta memberi ruang epistimologi perspektif feminis untuk memberikan makna terhadap realitas dunia perlu dlakukan Menjauh dari sikap pesimisme, maka dalam bidang pendidikan, hal berikut ini dapat dilakukan :

1.   Meningkatkan Partisipasi Pendidikan, dengan meningkatkan akses dan daya tampung pendidikan, menurunkan angka putus sekolah siswa perempuan dan meningkatkan angka melanjutkan lulusan dengan memberikan perhatian khusus pada anak-anak dari lingkungan sosial ekonomi lemah dan anak-anak yang tinggal di daerah tertinggal. Upaya tersebut perlu didukung c!eh pelayananpelayanan terintegrasi untiik menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab serta membantu keluarga yang kurang mampu dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Berbagai upaya yang akan diiakukan dalam rangka menghapus kesenjangan gender perlu disesuaikan dengan situasi dan permasalahan masing-masing daerah atau wilayah dan dikoordinasikan bersama oleh seluruh stakeholder.

2. Meningkatkan kesadaran umum dan relevansi pendidikan melalui antara lain penyempurnaan kurikulum dan memperbaiki materi ajar yang lebih sensitive gender, peningkatan kualitas tenaga pendidik sehingga memiliki pemahaman yang memadai mengenai masalah gender dan bersikap sensitif gender dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar.

3.    Mengembangkan manajemen pendidikan sehingga responsif gender melalui antara lain pelaksanaan berbagai analisis kebijakan dan peraturan perundangan yang masih bias gender; penimusan dan penetapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pendidikan yang berwawasan gender; peningkatan kapasitas institusi pengelola pendidikan sehingga memiliki kemampuan merencanakan, menyusun kebijakan, strategi dan program pendidikan berwawasan gender secara efektif dan efisien; serta pengembangan pusat-pusat studi wanita dan penguatan pusat-pusat studi lainnya sebagai mitra pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender. 


Tiga hal tersebut dapat dilaksanakan melalui lima strategi utama yaitu:

a.       penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;

b.  penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;

c.    peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama perempuan

d. peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan

e.  pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.