Salah
satu bentuk penanganan terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) diatur dalam
Pasal 16 ayat 3 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The
Child yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No.36 Tahun 1990 dengan menyatakan bahwa proses hukum dilakukan
sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak.
Kedua peraturan itu, tampak jelas adanya upaya untuk melindungi ABH,
khususnya menyangkut prinsip “The Best Interest of The Child” dimana pemidanaan
anak sebaiknya diposisikan sebagai opsi terakhir atau “The Last Resort”.
Sehingga dalam konteks penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif
saat ini, sudah menjad tuntutan. Prinsip keadilan restoratif saat ini sedang
didorong untuk penanganan ABH. Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang kini sedang dirancang pemerintah dan DPR juga tampaknya akan banyak
mengakomodasi prinsip ini.
Di level eksekutif bahkan telah ada kesepakatan bersama antara ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk
mendorong upaya ini. Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remedium juga telah
diharmonisasikan dalam Undang Undang tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
(Pasal 66 ayat 3 dan 4). Dalam implementasinya telah juga dipertegas oleh
mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, dalam tulisannya di Harian Kompas
yang mengimbau para hakim agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan
putusan berupa tindakan daripada pidana penjara.
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan
penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif,
walaupun belum secara komprehensif. Akan tetapi kenyataannya, banyak ABH yang
melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara seperti hebohnya dunia hukum anak
di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju.
Kasus Raju kemudian menimbulkan pro dan kontra.
Anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari
untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang
dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten
Langkat Sumut itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum
peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para
pemerhati anak Indonesia.
Kasus seorang siswa SD di Cinere,
Depok, menusuk temannya hingga sekarat pada Kamis, 16 Februari. AMN, 13
tahun, menusuk Saiful Munif, 13 tahun, dengan pisau dapur sebanyak delapan kali
di Jalan Puri Pesanggrahan 1, Perumahan Bukit Cinere Indah, Depok. Kejadian
berawal ketika pelaku tidak terima saat Syaiful meminta agar telepon seluler
yang dicurinya dikembalikan pada Kamis, 16 Februari 2012. AMN akhirnya
menjemput korban di rumahnya untuk berangkat sekolah, dan setelah itu AMN
menusuk korban hingga korban sekarat
Kasus tersebut, menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia
yang berhadapan dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana
anak. Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi dalam sebuah
wawancara yang dimuat di Republika Online, mengatakan, dalam menangani kasus penusukan yang
dilakukan oleh siswa SD, pihak terkait dihimbau agar bertindak bijaksana.
Polisi harus melakukan mediasi antara keluarga korban dan pelaku untuk menempuh
jalur musyawarah
Tentu saja semua ini butuh perhatian yang
serius dari semua pihak karena mengingat anak merupakan penerus generasi bangsa
yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa
ini.
Perubahan paradigma tentang keadilan dalam
hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat
Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola
pikir yang radikal dalam menangani permasalahan ABH.
Keadilan Restoratif
Menurut Kriminolog Inggris Tony F. Marshall,
keadilan restoratif adalah “Proses dimana pihak-pihak berkepentingan, memecahkan
bersama cara mencapai kesepakatan pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk
implikasinya di kemudian hari.” Perkembangan pemikian tentang pemidanaan
sendiri, saat ini bergerak ke arah otoritas baru dimana, penyelesaian perkara
pidana merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi semua pihak.
Masih menurut Gayus teori-teori pemidanaan sebelumnya melihat
pemidanaan sebagai suatu tindakan yang dipaksakan (terutama oleh lembaga
pengadilan) dan pelaku melaksanakannya sebagai tindakan terpaksa, maka unsur
kesukarelaan menjadi keadilan restoratif sebagai suatu pandangan atas
pemidanaan yang berbeda.
Sistem hukum seharusnya dapat menggambarkan suatu sistem dispute
prevention, settlement dan resolution. Artinya hukum dapat dijadikan norma yang
mengatur hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam aktivitas ekonomi
sehingga dapat mencegah terjadinya sengketa antara para pihak. Hukum dapat
menciptakan suatu sistem menyelesaikan sengketa secara menyeluruh. Perkembangan
ilmu hukum mengarah kepada pentngnya hukum sebagai Dispute Resolution.
Konsep restoratif justice melalui Alternative Dispute Resolution adalah
pilihan penyelesaian diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Dalam
menentukan sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang
dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Sistem ini memformulasikan
keadilan menjadi rumusan para pihak,yaitu korban dan pelaku, bukan berdasarkan
kalkulasi Jaksa dan putusan hakim. Kelemahan yang dikuatirkan dari penerapan
restorative justice ini adalah dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang
(diskresi) dari para penegak hukum.
Sistem peradilan anak yang sekarang
berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan)
dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya
memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak
Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Restorative Justice system setidak-tidaknya
bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang
dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan
lingkungannya.
Penanganan bagi anak yang berhadapan dengan
hukum yang sekarang ada sepertinya sudah dianggap tepat, tuntas, dan tidak
bermasalah. Kalaupun ada masalah, hanya dianggap sebagai soal teknis di
lapangan, kesalahan penempatan orang, atau kasuistis belaka. Jarang sekali ada
yang menilik, kemunculan masalah-masalah itu justru akibat dari sistemnya
sendiri yang sebenarnya memang rapuh.
Akibatnya, yang senantiasa terbayang bagi para
pelaku tindak kriminal adalah terali besi penjara. Tidak terkecuali bagi para
pelaku tindak kriminal yang masih anak-anak. Penjara seolah hanyalah
satu-satunya tempat hukuman, tanpa terlalu mempertimbangkan, apakah hukuman di penjara
akan efektif atau tidak, siapa pelakunya, dan tindakan kriminal macam apa yang
dilakukan.
Dalam konteks ini, Penjara diibaratkan sebagai
kunci Inggris. Apapun kejahatannya, bagaimanapun latar belakang pelakunya,
separah apapun kejahatannya, terali besi yang bernama penjara itulah yang akan
menjadi solusinya. Seseorang yang sekaligus melakukan pencurian, pemerkosaan,
dan pembunuhan, misalnya, diperlakukan tidak berbeda dengan seseorang yang
mencuri seekor ayam yang mungkin akan ditukarkannya dengan beberapa liter
beras. Sedangkan yang membedakan praktis
hanya lama atau sebentarnya hukuman.
Keadilan restorative atau restorative justice
saat ini ada baiknya dicoba. Bukan hanya sambil menunggu disahkannya RUU Sistem
Peradilan Pidana Anak menjadi Undang-undang. Penulis melihat hal ini perlu
untuk menghindari anak-anak trauma. Tentu saja lebih diperuntukkan untuk Anak
yang Berhadapan dengan Hukum.
Soal satu ini bukan tanpa pro dan kontra. Pro
dan Kontra, tentu akan timbul. Terutama pada keluarga korban, dan juga soal
kejahatan yang dilakukan. Ambil contoh kasus pembunuhan yang dilakukan oleh
seorang anak. Apakah dapat menerima bentuk penyelesaian hukum dengan cara
restorative? Pertanyaan itu yang umumnya akan timbul.
Memang dalam meminimalisir kasus yang merugikan
anak, Negara/pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Namun hal tersebut belum
mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang melibatkan anak
baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana.
Berkaitan dengan penanganan kasus kasus yang
melibatkan anak telah dilakukan berbagai
upaya untuk “menyelamatkan” anak yang berhadapan dengan hukum diantaranya
dengan adanya Kesepakatan Bersama dalam penanganan penanganan kasus anak
bermasalah dengan hukum melalui Surat Keputusan Bersama antara Mentri Hukum dan
HAM,Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,Menteri Sosial,Jaksa
Agung,Kepolisian RI serta Mahkamah Agung.
Adapun Surat Keputusan Bersama ini bertujuan :
- Terwujudnya persamaan persepsi di antara jejaring kerja dalam penanganan anak bermasalah hukum;
- Meningkatnya koordinasi dan kerja sama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi Anak bermasalah hukum;
- Meningkatnya efektivitas penanganan anak yang berhadapan dengan hukum secara sistematis komprehensif, berkesinambungan dan terpadu.
Sedangkan substansi dari Surat Keputusan
Bersama ini :
- Kepolisian, dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum agar mengedepankan Kepentingan Terbaik Anak, mencari alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh kembang anak serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan anak dari proses peradilan formal;
- Kejaksaan sebagai tindak lanjut telah dikeluarkannya Surat Edaran Jampidum 28 Februari 2010 Nomor. B 363/E/EJP/02/2010 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum;
- Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran MA RI Nomor MA/KUMDIL/31/1/k/2005 tentang Kewajiban tiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan,
- Kementerian Hukum dan HAMsebagai implementasi dari Surat Keputusan Bersama telah ditetapkan Kebijakan ABH melalui Inpres Nomor 3 tahun 2010 dan SOP ABH di Bapas dan Rutan serta Lapas, serta koordinasi APH di tingkat pusat melalui Mahkumjapol;
- Kementerian Sosial, kepedulian pemerintah terhadap ABH dilakukan melalui berbagai program kesejahteraan sosial anak melalui penyediaan panti sosial dan RPSA serta pusat trauma. Bantuan kepada anak korban kekerasan dan penelantaran berupa bantuan pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak dalam bentuk bantuan tunai bersyarat khususnya anak dari keluarga miskin. Di samping itu juga dibentuk kelompok-kelompok kerja perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH, dan lain-lain;
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, implementasi Surat Keputusan Bersama ini dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara PP2PA Nomor 15 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan ABH.
Dalam perjalanannya penanganan kasus anak masih
tetap harus dikontrol dengan ketat karena dalam kegiatannya masih sering
terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum. Sebagai
anggota PBB sudah sewajarnya Indonesia juga menghormati dan menerapkan
produk–produk hukum yang dihasilkan berkenaan dengan ABH seperti: The Tokyo
Rules (peraturan standar minimum PBB untuk upaya-upaya penahanan), JDL/Havana
Rules (peraturan PBB untuk perlindungan anak yang dicabut kebebasannya),
Beijing Rules (peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai Administrasi
Peradilan bagi anak), Riyadh Guide Lines (Pedoman PBB tentang pencegahan tindak
pidana anak).
Munculnya wacana penerapan restorative justice
yang dalam Inpres Nomor 3/2010 dan Inpres Nomor 10 tahun 2010 telah tersirat
dengan “ JUSTICE FOR ALL “dan Keadilan Restoratif patutlah menjadi acuan para
aparat penegak hukum di negeri kita dalam menangani ABH.
Karakteristik restorative justice adalah
membuat pelanggar bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
oleh kesalahannya; memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kuantitasnya di samping mengatasi rasa bersalah secara
konstruktif;.melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar,sekolah dan
teman dekatnya; menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
tersebut;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi
sosial.
Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah
selayaknya Aparat Penegak Hukum menerapkan pendekatan Restorative
Justice/keadilan restoratif sambil menunggu disahkan RUU Sistem Peradilan
Pidana Anak. Sangat dibutuhkan koordinasi antara Aparat Penegak Hukum agar
terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
System) untuk menyamakan persepsi dalam penanganan ABH.
Untuk mengarah kepada hal tersebut, maka
dibutuhkan kesadaran dari Aparat Penegak Hukum dalam menerapkan keadilan
restoratif lebih menggunakan Moral Justice (keadilan menurut nurani) dan
memperhatikan Sosial Justice (keadilan masyarakat) selain wajib
mempertimbangkan Legal Justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan)
sehingga tercapainya Presice Justice (Penghargaan tertinggi untuk keadilan).
Dalam penerapannya tidak semua kasus anak dapat
diberlakukan restorative justice dan kriterianya adalah sebagai berikut: Bukan
kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak, kenakalan anak
tersebut yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau
cacat seumur hidup dan kenakalan tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap
kesusilaan yang serius menyangkut kehormatan dan bukan pelanggaran lalu lintas.
Dalam pelaksanaan restorative justice
melibatkan berbagai pihak yang bersengketa di dalam musyawarah pemulihan
penyelesaian kasus diantaranya :
- Korban dan keluarga korban karena korban adalah bagian dari konflik, kepentingan korban dalam proses pengambilan keputusan serta konflik merupakan persoalan keluarga.
- Pelaku dan keluarga karena pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan dan keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan karena usia pelaku yang belum dewasa.
- Wakil masyarakat guna mewakili kepentingan dari lingkungan lokasi peristiwa pidana terjadi dan kepentingankepentingan yang bersifat publik.
Penulis menilai, Jika kita memahami makna
restorative justice dan konsisten menerapkannya maka beberapa hal yang dicapai
antara lain berkurangnya jumlah anak penghuni lapas dan bukan tidak mungkin
akan menyelamatkan anak anak yang berhadapan dengan hukum dari masa depan suram
yang diakibatkan pengalaman hidup di balik terali besi dan trauma dari proses
hukum yang berjalan.