Mungkin tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang makna dan eksistensi difabel.
Difabel pada prinsipnya berasal dari kata difable diambil dari Bahasa
Inggris, different ability people, yang artinya (kurang lebih) adalah
orang-orang yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan dibandingkan dengan
kondisi orang-orang normal pada umumnya. Dalam perjalanannya, pengguna Bahasa
Indonesia lebih cenderung menggunakan istilah difabel daripada difable.
Perbedaan ini melekat
secara alamiah (dibawa sejak lahir) atau terjadi karena faktor insidental
(kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik/mental permanen). Singkatnya, secara
harfiah difabel dapat diartikan sebagai penyandang cacat jasmani atau cacat
mental. Secara alamiah, para difabel terbentuk sejak lahir dengan potensi dan
kemampuan unik (unique abilities) dalam melakukan rutinitas kegiatan sehari-hari,
melakukan interaksi sosial, proses penyelesaian masalah, hingga kemampuan untuk
menghasilkan karya-karya yang luar biasa, layaknya, atau bahkan melampaui
kemampuan non-difabel sendiri.
Berbicara difabel dan
hak pendidikan, maka kita bisa mengaitkannya dengan mata rantai Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) pasal 4 ayat 1, yang menegaskan bahwa: “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa”, serta diperkuat pula dengan argumentasi Pasal 5 UU
Sisdiknas mengenai hak dan kewajiban warga negara yang berbunyi: (1) Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu,
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dan masih banyak lagi
UU yang memberikan legitimasi dan ruang bagi difabel.
Dari tataran
argumentasi diatas, sangat jelas bahwa difabel memiliki hak mutlak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Memiliki hak untuk menikmati
pendidikan secara demokratis dan berkeadilan. Tentu, dengan rambu-rambu dan
mekanisme khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ia tidak bisa dilepaskan dari
dinamika sosial, bahkan menjadi bagian dari dinamika sosial itu sendiri.
Keberadaan difabel, mau
tidak mau, suka atau tidak suka, mengundang ragam opini ditengah-tengah
masyarakat yang mejemuk. Sebagian memiliki konsepsi bahwa difabel adalah
pribadi yang memiliki keterbatasan kemampuan dibawah rata-rata normal, dan akan
selamanya hidup dalam keterbatasan itu. Dalam perjalanannya, difabel dianggap
akan lebih sering berjibaku dengan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan
mengusir rasa sepi dan hampa. Termasuk kesulitan untuk menunjukkan
eksistensinya sekalipun. Pada titik ini, ruang untuk difabel semakin sempit.
Hak untuk berekspresi dan berkarya layaknya dikebiri.
Sebagian masyarakat
yang lain justru menganggap keberadaan difabel adalah bagian integraldari
denyut pergerakan dan perubahan sosial. Mereka dianggap turut memberikan
kontribusi positif bagi lingkungan hidup disekitarnya. Pribadi yang memiliki
sensitifitas tinggi dalam membangun peradaban, mampu membentuk tatanan
sosio-kultural yang baik, bahkan mampu menjadi pioneer penggerak roda
pembangunan bangsa.
Ironisnya, banyak
peristiwa-peristiwa memilukan yang banyak kita jumpai di lapangan. Kaum difabel
harus hidup dalam keterpurukan. Kenistaan. Karena dianggap bukan siapa-siapa
dan tidak memberi pengaruh apa-apa bagi kehidupan dan peradaban masyarakat.
Orangtua yang memiliki anak difabel cenderung menganggap bahwa anaknya tersebut
adalah “aib” yang harus disembunyikan jauh-jauh dari perhatian masyarakat.
Mereka terpaksa harus tinggal dibalik “penjara” yang pengap, atau hidup
berteman pasung di kedua kakinya, jauh dari hiruk pikuk dan geliat zaman, diam
dengan tatapan kosong, melihat dalam gelap, bak menyusuri lorong senyap seorang
diri.
Pemandangan yang sangat
miris ini tentu bukan harapan kita semua. Upaya pemerintah untuk mengentaskan
jumlah difabel dengan program-program rehabilitasi harus terus ditingkatkan
secara masif, merata, efektif, dan berkesinambungan. Sosialisasi kepada semua
elemen masyarakat dengan taraf intellegency yang rendah harus
terus digalakkan. Kerjasama yang sinergis antara stakeholder dengan
masyarakat terkait penanggulangan angka difabel pun harus terus digalakkan.
Diharapkan dengan langkah-langkah yang strategis dan sistematis, maka
permasalahan-permasalahan difabel perlahan tapi pasti akan bisa terselesaikan.
Bukan lagi menjadi pekerjaaan rumah yang belum terselesaikan dari waktu ke
waktu.
Jika kita berani jujur
dan mau mengakui dengan kebesaran hati, banyak dijumpai difabel yang justru
berhasil mengukir prestasi gemilang jauh melampaui kemampuan non-difabel yang
tidak menyandang kekurangan secara fisik dan mentalitas. Sederet nama kelas
dunia seperti Helen Keller, Albert Einstein, Agatha Christie, atlet-atlet
Indonesia berprestasi, seperti Stephanie Handojo (atlet renang), David Jacobs
(atlet tenis meja), Ni Nengah Widiasih (atlet angkat berat), adalah segelintir
para difabel yang mampu menunjukkan jati diri dan potensi yang luar biasa.
Kesimpulannya, marilah kita senantiasa menerima dan menghargai
keberadaan difabel ditengah-tengah kehidupan kita. Mari kita merevisi pemahaman
yang keliru bahwa difabel adalah orang-orang yang memiliki kekurangan dan
keterbatasan, dan karena kekurangan dan keterbatasan tersebut maka ia hanya
bisa pasrah dan tidak bisa menjadi manusia yang produktif. Berada pada zona
diskriminatif berkepanjangan.
Sebaliknya, pemahaman
yang harus direkonstruksi adalah bahwa kaum difabel didefinisikan sebagai
manusia-manusia yang diciptakan dengan perbedaan, namun dengan perbedaan itu
pula mereka justru memiliki kekuatan dan optimisme yang tinggi untuk bangkit
dan berprestasi. Lantas, jika difabel saja mampu bersyukur dengan bukti nyata
dan kerja keras hingga sukses menggapai cita-cita, bagaimana dengan kita yang
(dianggap) memiliki segalanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar