Bagimana tanggapan anda menganai perkembangan dan status
agama lokal di Indonesia? Bagaimana bentuk kebijakan pemerintah pusat yang
berkaitan dengan agama lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup menarik untuk
dijawab dan dikaji lebih dalam, bila kita perhatikan perjalanan sistem
kepemerintahan kita, terbukti bahwa banyak perubahan yang terjadi setelah
reformasi berjalan lebih dari satu dekade .
Pergeseran paradigma dari
pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, meskipun tahapnya baru
sebatas prosedural—telah membawa implikasi yang luar biasa hampir dalam semua
lini kehidupan Dengan diamandemennya UUD 1945, khusus dalam pasal 28 a dan 28 c
yang memberi kebebasan pada Hak Asasi Manusia, termasuk dalam berkepercayaan,
membuat berbagai tuntutan muncul dalam apa yang disebut “politics of
recognition”. Tuntutan yang serba menagih kesetaraan, yang dimasa lalu
merupakan sebuah “ketabuan”.
Agama (lokal) Kaharingan yang mengaku telah ada
sebelum agama resmi ada di Indonesia, mulai menuntut kesamaan hak untuk diakui
sebagai agama resmi. Agama (lokal) Madrais di Cigugur, mulai menampilkan
tuntutan: mengapa agama “asing” seperti Konghucu diakui Negara, sedangkan
“agama” lokal yang “asli” justru dianaktirikan. Negara mulai dipertanyakan
otoritas tunggal dalam mendefinisikan agama resmi. Indonesia sebagai negara
plural baik dari segi etnik maupun agama telah menjatuhkan pilihan sebagai
negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yang menuntut penyelesaian perbedaan
dengan: dialog yang didasarkan akal sehat (common sense), menghormati
perbedaan, menanggapi perbedaan berkeyakinan sebagai sunnatullah.
Dalam pasal
29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. (2)
Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri,
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata ”kepercayaan” dalam
pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi-interpretasi yang dampaknya tidak
sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah,
Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan utama yang keberadaannya
jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata
”kepercayaan” dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran kebatinan itu
setaraf dengan agama ”resmi”. Sebaliknya, bagi kelompok Islam ortodok,
aliran-aliran kebatinan semacam itu harus ”dibina” dan dikembalikan pada agama
induknya (Anas Saidi; 2004: 7-8).
Sebagai negara yang sedang dalam konsolidasi
demokrasi, dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia nampaknya sedang mencari
bentuk. Seluruh perubahan yang disulut reformasi yang mendekati revolusi,
nampaknya membutuhkan kedewasaan. Betapapun aliran kepercayaan lokal per
definisi sulit untuk didefinisikan sebagai agama (samawi), yang kelahirannya
bisa disebabkan oleh perbagai ketidakpuasaan dalam menghadapi modernisasi,
kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan sejenisnya, tetapi keberadaan
mereka merupakan bagian dari ragam-ragam kepercayaan di nusantara, yang
kehadirannya dapat memperkaya moralitas kehidupan bangsa. Oleh karena itu dalam
rangka memahami seluk-beluk dan dinamika agama lokal dalam menghadapi era
reformasi, melakukan rekontruksi (penelitian) secara menyuluruh sebagai upaya
untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, nampaknya menjadi
kebutuhan yang mendesak.(Lih. "Executive Summary" tentang
Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia" oleh Badan Litbang dan
Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kemenag RI).
Salah satu penyebab kurang populernya agama lokal ini adalah
tidak lepas karena pengaturan atau kebijakan pemerintah, yaitu tidak mengakui
sebagai agama resmi tetapi menggolongkannya sebagai kepercayaan semata.
Kemudian situasinya menjadi semakin sulit karena masyarakat sendiri nyaris
tidak memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya agama lama ini bahkan
tidak jarang menganggapnya sebagai bukan suatu agama atau bahkan dituduh
sebagai aliran sesat. Sebenarnya mereka jelas bukan ajaran sesat, karena
keberadaan mereka sudah dijamin oleh Undang-undang.
Namun Undang-undang
tetaplah hanya sebatas teks dan kata-kata semata, karena kenyataan
keberadaannya terpinggirkan atau bahkan lebih tepat disebut dicurigai. Dari
sekian banyak agama lokal yang ada, bisa dikatakan sudah punah walaupun
kenyataannya masih bisa ditemukan di suatu wilayah namun dianggap “tidak pernah
ada”. Buktinya “agama resmi” yang diakui dan masuk kolom KTP hanya 6 agama
saja, dan tidak ada satupun yang termasuk agama lokal alias semuanya import,
dengan demikian keberadaan agama lokal sudah dianggap punah.
Untuk mendapatkan
legalitas resmi, beberapa agama tertentu seperti Kaharingan “terpaksa” harus
bergabung dengan agama Hindu. Kemudian agama Parmalim di Batak memilih tetap
bertahan dengan agama lamanya, namun untuk urusan KTP nya, terpaksa harus
memilih agama lain sebagai identitasnya. Dan sudah seharusnya kita mendukung
dan memberi tempat agar saudara2 luhur nusantara mendapat tempat yang adil dan
layak dalam menjalankan ibadah dalam keyakinannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar