Kamis, 04 Agustus 2016

Aliran Kepercayaan (Agama lokal) Haruskah diakui di Negara Plural ini?


Bagimana tanggapan anda menganai perkembangan dan status agama lokal di Indonesia? Bagaimana bentuk kebijakan pemerintah pusat yang berkaitan dengan agama lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup menarik untuk dijawab dan dikaji lebih dalam, bila kita perhatikan perjalanan sistem kepemerintahan kita, terbukti bahwa banyak perubahan yang terjadi setelah reformasi berjalan lebih dari satu dekade . 

Pergeseran paradigma dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, meskipun tahapnya baru sebatas prosedural—telah membawa implikasi yang luar biasa hampir dalam semua lini kehidupan Dengan diamandemennya UUD 1945, khusus dalam pasal 28 a dan 28 c yang memberi kebebasan pada Hak Asasi Manusia, termasuk dalam berkepercayaan, membuat berbagai tuntutan muncul dalam apa yang disebut “politics of recognition”. Tuntutan yang serba menagih kesetaraan, yang dimasa lalu merupakan sebuah “ketabuan”.

Agama (lokal) Kaharingan yang mengaku telah ada sebelum agama resmi ada di Indonesia, mulai menuntut kesamaan hak untuk diakui sebagai agama resmi. Agama (lokal) Madrais di Cigugur, mulai menampilkan tuntutan: mengapa agama “asing” seperti Konghucu diakui Negara, sedangkan “agama” lokal yang “asli” justru dianaktirikan. Negara mulai dipertanyakan otoritas tunggal dalam mendefinisikan agama resmi. Indonesia sebagai negara plural baik dari segi etnik maupun agama telah menjatuhkan pilihan sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yang menuntut penyelesaian perbedaan dengan: dialog yang didasarkan akal sehat (common sense), menghormati perbedaan, menanggapi perbedaan berkeyakinan sebagai sunnatullah. 

Dalam pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata ”kepercayaan” dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi-interpretasi yang dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah, Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan” dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran kebatinan itu setaraf dengan agama ”resmi”. Sebaliknya, bagi kelompok Islam ortodok, aliran-aliran kebatinan semacam itu harus ”dibina” dan dikembalikan pada agama induknya (Anas Saidi; 2004: 7-8). 

Sebagai negara yang sedang dalam konsolidasi demokrasi, dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia nampaknya sedang mencari bentuk. Seluruh perubahan yang disulut reformasi yang mendekati revolusi, nampaknya membutuhkan kedewasaan. Betapapun aliran kepercayaan lokal per definisi sulit untuk didefinisikan sebagai agama (samawi), yang kelahirannya bisa disebabkan oleh perbagai ketidakpuasaan dalam menghadapi modernisasi, kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan sejenisnya, tetapi keberadaan mereka merupakan bagian dari ragam-ragam kepercayaan di nusantara, yang kehadirannya dapat memperkaya moralitas kehidupan bangsa. Oleh karena itu dalam rangka memahami seluk-beluk dan dinamika agama lokal dalam menghadapi era reformasi, melakukan rekontruksi (penelitian) secara menyuluruh sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, nampaknya menjadi kebutuhan yang mendesak.(Lih. "Executive Summary" tentang Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia" oleh Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kemenag RI).


Salah satu penyebab kurang populernya agama lokal ini adalah tidak lepas karena pengaturan atau kebijakan pemerintah, yaitu tidak mengakui sebagai agama resmi tetapi menggolongkannya sebagai kepercayaan semata. Kemudian situasinya menjadi semakin sulit karena masyarakat sendiri nyaris tidak memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya agama lama ini bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai bukan suatu agama atau bahkan dituduh sebagai aliran sesat. Sebenarnya mereka jelas bukan ajaran sesat, karena keberadaan mereka sudah dijamin oleh Undang-undang. 

Namun Undang-undang tetaplah hanya sebatas teks dan kata-kata semata, karena kenyataan keberadaannya terpinggirkan atau bahkan lebih tepat disebut dicurigai. Dari sekian banyak agama lokal yang ada, bisa dikatakan sudah punah walaupun kenyataannya masih bisa ditemukan di suatu wilayah namun dianggap “tidak pernah ada”. Buktinya “agama resmi” yang diakui dan masuk kolom KTP hanya 6 agama saja, dan tidak ada satupun yang termasuk agama lokal alias semuanya import, dengan demikian keberadaan agama lokal sudah dianggap punah. 

Untuk mendapatkan legalitas resmi, beberapa agama tertentu seperti Kaharingan “terpaksa” harus bergabung dengan agama Hindu. Kemudian agama Parmalim di Batak memilih tetap bertahan dengan agama lamanya, namun untuk urusan KTP nya, terpaksa harus memilih agama lain sebagai identitasnya. Dan sudah seharusnya kita mendukung dan memberi tempat agar saudara2 luhur nusantara mendapat tempat yang adil dan layak dalam menjalankan ibadah dalam keyakinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar