Kamis, 04 Agustus 2016

Banyak Anak Banyak Rezeki, Fakta atau Mitos?


Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya sangat padat. Indonesia menempati posisi ke empat setelah Cinta, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini kurang lebih ada 249,9 juta jiwa. Jumlah kepadatan ini terus naik dari waktu ke waktu, tidak menutup kemungkinan akan terus naik dalam beberapa dekade kedepan. Peningkatan jumlah penduduk ini harus bisa dikendalikan sedini mungkin, karena kalau dibiarkan akan mempunyai dampak yang sangat berarti, mulai dari keterbatasan lahan, jumlah penduduk yang tidak seimbang bahkan akan berdampak pada sistem ekonomi di nagara kita. Ada beberapa faktor penyebab ledakan jumlah penduduk di Indonesia, yaitu : 

Pernikahan dini 
Sepertinya sudah menjadi tren zaman sekarang, yaitu menikah di usia muda, padahal menikah muda itu banyak sekali resikonya. Pernikahan dini rentan terhadap perceraian karena kurangnya tanggungjawab, kemudian perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan dibandingkan yang berusia 20-25 tahun. Pernikahan dini akan sangat berpengaruh pada julmah kepadatan penduduk, karena akan meningkatkan angka kelahiran. 

Anggapan 'banyak anak banyak rezeki' 
Kata-kata ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, banyak anak banyak rezeki. Sebagian orang memang masih percaya dengan pandangan ini, tapi sebetulnya semua itu tergantung dan kembali pada diri kita masing-masing. Ketika umur saya belasan tahun, saya coba bertanya apa alasan banyak anak banyak rezeki kepada tetangga saya, beliau beralasan bahwa jika nanti anaknya sudah besar dan sudah mapan, maka beliau akan mendapatkan hasil dari anak-anaknya tersebut. 

Perpindahan (migrasi) 
Migrasi adalah proses gerak penduduk dari wilayah satu ke wilayah yang lain, proses ini akan sangat berpengaruh pada tingkat kepadatan suatu daerah dan akan berpengaruh pada angka jumlah penduduk. Meningkatnya jumlah penduduk ini tentu akan memiliki dampak yang kurang baik bagi kehidupan kita sehari-hari, berikut beberapa dampak yang bisa disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. 

Sosial ekonomi 
Pertumbuhan penduduk yang tidak dibarengi dengan lapangan pekerjaan yang memadai bisa menambah angka pangangguran di negeri ini, selain itu juga akan menimbulkan masalah kriminalitas, karena orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, sedangkah dia harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya, maka dia akan mencari cara agar tetap bisa bertahan hidup, contohnya saja dengan cara mencuri, merampok dan kejahatan sejenis. 

Lingkungan hidup 
Jumlah penduduk harus seimbang dengan ketersediaan tempat tinggal. Untuk mengatasi hal ini, tentu dibutuhkan lahan yang lebih luas untuk dijadikan tempat tinggal, akibatnya daerah pertanian atau hutan-hutan yang masih asri dirusak untuk dijadikan pemukiman. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena area yang dulunya menjadi tempat resapan air, kini diubah menjadi perumahan, alhasil ketika hujan datang, banjir pun tak terelakkan. Dampak kurang baik lainnya adalah meningkatnya limbah yang dihasilkan dari  rumah tangga, angka kemiskinan meningkat, ketersediaan pangan yang sulit dan tidak menutup kemungkinan akan muncul wabah penyakit baru di masyarakat. Semua masalah ini seharusnya kita bisa atasi dengan saling bekerjasama menekan tingginya jumlah penduduk di Indonesia, berikut ini upaya-upaya yang bisa di tempuh untuk mengurangi angka kepadatan penduduk di negeri ini. 

Program Keluarga Berencana (KB) 
Tentu bukan barang baru di telinga kita, Keluarga Berencana. Program KB ini membatasi jumlah anak dalam satu keluarga, sehingga bisa menekan angka kelahiran. 

Menunda pernikahan dini 
Menunda untuk menikah di usia muda, dengan cara ini juga akan mampu menekan angka kelahiran di masyarakat. 
Pemerataan penduduk Persebaran jumlah penduduk yang seimbang akan mengurangi angka kepadatan di suatu daerah, program ini bisa dilakukan dengan cara transmigrasi dan melakukan pembangunan dan pengembangan yang lebih intens di kawasan Indonesia bagian timur. Untuk mengimbangi besarnya angka kepadatan penduduk ini, tentu harus dilakukan berbagai upaya-upaya agar tetap seimbang, sesuai dengan visi BKKBN yaitu "Penduduk Tumbuh Seimbang 2015", upaya-upaya tersebut adalah: 

Penciptaan lapangan pekerjaan 

Dengan lapangan pekerjaan yang memadai, tentu akan sangat bermanfaat khususnya dalam mengurangi angka pengangguran di Indonesia, sehingga masyarakat bisa hidup layak dan sejahtera. Pembangunan yang intensif Pembangunan sarana dan prasarana masyarakat sehingga semua kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi, misalkan perumahan murah, dengan ini diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh dan tinggal di bantaran sungai. Dengan cara-cara diatas, semoga bisa menyelesaikan permasalah kepadatan penduduk di Indonesia. Rencanakan semuanya dengan bijak, sehingga kita bisa hidup lebih nyaman lagi.

#SemogaBermanfaat


Aliran Kepercayaan (Agama lokal) Haruskah diakui di Negara Plural ini?


Bagimana tanggapan anda menganai perkembangan dan status agama lokal di Indonesia? Bagaimana bentuk kebijakan pemerintah pusat yang berkaitan dengan agama lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup menarik untuk dijawab dan dikaji lebih dalam, bila kita perhatikan perjalanan sistem kepemerintahan kita, terbukti bahwa banyak perubahan yang terjadi setelah reformasi berjalan lebih dari satu dekade . 

Pergeseran paradigma dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis, meskipun tahapnya baru sebatas prosedural—telah membawa implikasi yang luar biasa hampir dalam semua lini kehidupan Dengan diamandemennya UUD 1945, khusus dalam pasal 28 a dan 28 c yang memberi kebebasan pada Hak Asasi Manusia, termasuk dalam berkepercayaan, membuat berbagai tuntutan muncul dalam apa yang disebut “politics of recognition”. Tuntutan yang serba menagih kesetaraan, yang dimasa lalu merupakan sebuah “ketabuan”.

Agama (lokal) Kaharingan yang mengaku telah ada sebelum agama resmi ada di Indonesia, mulai menuntut kesamaan hak untuk diakui sebagai agama resmi. Agama (lokal) Madrais di Cigugur, mulai menampilkan tuntutan: mengapa agama “asing” seperti Konghucu diakui Negara, sedangkan “agama” lokal yang “asli” justru dianaktirikan. Negara mulai dipertanyakan otoritas tunggal dalam mendefinisikan agama resmi. Indonesia sebagai negara plural baik dari segi etnik maupun agama telah menjatuhkan pilihan sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yang menuntut penyelesaian perbedaan dengan: dialog yang didasarkan akal sehat (common sense), menghormati perbedaan, menanggapi perbedaan berkeyakinan sebagai sunnatullah. 

Dalam pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata ”kepercayaan” dalam pasal 29 ayat 2 itu telah memiliki multi-interpretasi yang dampaknya tidak sederhana. Bagi aliran kebatinan (kepercayaan) seperti; Sapto Dharma, Sumarah, Subud dan Pangestu yang merupakan aliran kepercayaan utama yang keberadaannya jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan, pasal 29 yang memuat kata ”kepercayaan” dianggap merupakan pengakuan negara terhadap aliran kebatinan itu setaraf dengan agama ”resmi”. Sebaliknya, bagi kelompok Islam ortodok, aliran-aliran kebatinan semacam itu harus ”dibina” dan dikembalikan pada agama induknya (Anas Saidi; 2004: 7-8). 

Sebagai negara yang sedang dalam konsolidasi demokrasi, dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia nampaknya sedang mencari bentuk. Seluruh perubahan yang disulut reformasi yang mendekati revolusi, nampaknya membutuhkan kedewasaan. Betapapun aliran kepercayaan lokal per definisi sulit untuk didefinisikan sebagai agama (samawi), yang kelahirannya bisa disebabkan oleh perbagai ketidakpuasaan dalam menghadapi modernisasi, kebutuhan untuk mempertahankan identitas dan sejenisnya, tetapi keberadaan mereka merupakan bagian dari ragam-ragam kepercayaan di nusantara, yang kehadirannya dapat memperkaya moralitas kehidupan bangsa. Oleh karena itu dalam rangka memahami seluk-beluk dan dinamika agama lokal dalam menghadapi era reformasi, melakukan rekontruksi (penelitian) secara menyuluruh sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis, nampaknya menjadi kebutuhan yang mendesak.(Lih. "Executive Summary" tentang Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia" oleh Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kemenag RI).


Salah satu penyebab kurang populernya agama lokal ini adalah tidak lepas karena pengaturan atau kebijakan pemerintah, yaitu tidak mengakui sebagai agama resmi tetapi menggolongkannya sebagai kepercayaan semata. Kemudian situasinya menjadi semakin sulit karena masyarakat sendiri nyaris tidak memberi peluang untuk tumbuh dan berkembangnya agama lama ini bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai bukan suatu agama atau bahkan dituduh sebagai aliran sesat. Sebenarnya mereka jelas bukan ajaran sesat, karena keberadaan mereka sudah dijamin oleh Undang-undang. 

Namun Undang-undang tetaplah hanya sebatas teks dan kata-kata semata, karena kenyataan keberadaannya terpinggirkan atau bahkan lebih tepat disebut dicurigai. Dari sekian banyak agama lokal yang ada, bisa dikatakan sudah punah walaupun kenyataannya masih bisa ditemukan di suatu wilayah namun dianggap “tidak pernah ada”. Buktinya “agama resmi” yang diakui dan masuk kolom KTP hanya 6 agama saja, dan tidak ada satupun yang termasuk agama lokal alias semuanya import, dengan demikian keberadaan agama lokal sudah dianggap punah. 

Untuk mendapatkan legalitas resmi, beberapa agama tertentu seperti Kaharingan “terpaksa” harus bergabung dengan agama Hindu. Kemudian agama Parmalim di Batak memilih tetap bertahan dengan agama lamanya, namun untuk urusan KTP nya, terpaksa harus memilih agama lain sebagai identitasnya. Dan sudah seharusnya kita mendukung dan memberi tempat agar saudara2 luhur nusantara mendapat tempat yang adil dan layak dalam menjalankan ibadah dalam keyakinannya.

12 Tipe Mahasiswa Berdasarkan Aktivitasnya Sehari-hari, kamu yang mana?




Kehidupan kampus memang memiliki banyak cerita. Tiap orang akan merasakan dunia kampus secara berbeda tergantung dari kegiatan yang di lakukan sebagai rutinitasnya. Tidak ada jenis mahasiswa yang terbaik karena masing-masih punya poin pembelajaran dan momennya sendiri-sendiri. Berikut 12 tipe mahasiswa yang akan kamu jumpai di kampus...

1. Mahasiswa Kupu-Kupu


Kupu-kupu = kuliah pulang – kuliah pulang
Kegiatan mahasiswa ini sehari-hari adalah kuliah, kemudian langsung pulang ke rumah. Bukan berarti mahasiswa ini kurang kesibukan, tapi bisa jadi karena sumber kesibukannya ada di rumah. Entah itu sudah harus mengurus anak, mengurus orangtua, menjalankan bisnisnya dari rumah ataupun kesibukan lainnya. Belajarlah untuk mendahulukan keluarga dari mahasiswa tipe ini.

2. Mahasiswa Kuda-Kuda


Kuda-kuda = kuliah dagang – kuliah dagang
Jika kamu jeli melihat sekelilingmu saat kuliah, pasti ada mahasiswa yang berdagang sesuatu di luar jam kuliahnya. Baik berdagang suatu produk maupun jasa. Mahasiswa ini akan oportunis menawarkan jualannya di berbagai kesempatan, termasuk saat berteman dengannya di media sosial. Belajarlah pengalaman berdagang dari mahasiswa ini.

3. Mahasiswa Kura-Kura


Kura-kura = kuliah rapat – kuliah rapat
Kamu pasti akan melihat banyak sekali mahasiswa tipe ini di kampus. Mereka sangat sibuk rapat kerja atau rapat koordinasi di luar jam kuliah mereka. Baik itu untuk keperluan akademis, organisasi, unit kegiatan mahasiswa, event, proyek dan lain sebagainya. Belajarlah menjadi kritis dari mahasiswa tipe ini.

4. Mahasiswa Kunang -Kunang



Kunang-kunang = kuliah nangkring-kuliah nangkring
Ada banyak tempat buat nangkring untuk mahasiswa, mulai dari warteg, warkop, pinggir jalan dengan abang-abang jualan pentol sampai taman kota dengan wi-fi gratis. Semua tempat itu digunakan untuk sekedar duduk, minum kopi, makan jajan bersama, menangkap Pokemon dan berbincang-bincang apapun yang bisa saja tiba-tiba mengarah pada kebijakan negara. Belajarlah cara menemukan perasaan santai dari mahasiswa jenis ini.

5. Mahasiswa Kucing-Kucing


Kucing-kucing = kuliah cari yang bening-kuliah cari yang bening
Konon katanya ada mahasiswa yang sejak dari jaman sekolah selalu berorientasi untuk mencari jodoh di kesempatan apapun. Jika ini masih berlanjut hingga dia kuliah, berarti kisah cintanya dari jaman sekolah tidak sukses. Jalan pandangnya visioner, ia akan melihat apakah seseorang itu layak menjadi pendamping hidupnya hingga akhir hayat atau tidak. Postingan dan update-nya di media sosial berkisar pada cinta-cintaan. Kamu bisa belajar mengasah sisi romantismu dari mahasiswa ini.

6. Mahasiswa Kuman-Kuman


Kuman-kuman = kuliah main-kuliah main
Kamu akan menemukan teman kuliah yang seakan-akan main melulu jika tidak kuliah. Kalaupun dia adalah anak rantau, dia tiba-tiba sudah tahu semua tempat main di kota tempat dia kuliah dalam waktu dekat. Hobi main tidak berarti buruk, justru ini akan berguna ketika nanti di dunia kerja. Mereka akan terbiasa dengan istilah "work hard, play harder". Kamu perlu belajar untuk menemukan cara having fun di tengah kesibukan dari mereka.

7. Mahasiswa Kutu Kupret


Kutu kupret = Kuliah tugas-kuliah presentasi
Mahasiswa rajin atau bisa juga jenius ini biasanya menjadi korban saat mendapat tugas kelompok. Di luar jam kuliah, dia akan mengerjakan tugas kelompoknya dan pada saat presentasi, dia pun yang akan maju untuk presentasi hasil tugasnya karena memang hanya dia lah yang mengerti tugas tersebut. Tapi kondisi tersebut akan bermanfaat bagi dia sendiri karena mengerjakan tugas itu secara tidak langsung membuatnya belajar materi perkuliahan. Jangan terkejut jika mahasiswa tipe ini merajai top 20 chart IPK tertinggi di jurusanmu. Belajarlah menjadi rajin dari mereka.

8. Mahasiswa Kue-Kue


Kue-kue = kuliah gawe-kuliah gawe
Terlepas dari kondisi yang memang memaksa mereka harus bekerja ataupun memang bekerja karena keinginan sendiri, mahasiswa tipe ini jago membagi waktu dan energinya. Bayangkan ia harus menyelesaikan tugas kuliah dan lanjut menyelesaikan tugas di tempat kerjanya. Pengalaman kerja yang ia lakukan akan menambah catatan bagus riwayat hidupnya, sehingga memiliki nilai lebih dibanding teman lain ketika mencari kerja begitu lulus kuliah. Belajarlah untuk menjadi berdedikasi dari mereka.

9. Mahasiswa Kumus-Kumus


Kumus-kumus = kuliah musik-kuliah musik
Panggung menjadi dunia favorit mahasiswa jenis ini. Begitu jam perkuliahan selesai, bermusik adalah sebuah kewajiban. Mereka sadar bahwa cari kerja itu susah, jadi mereka memutuskan kuliah. Tapi keputusan ini tidak lantas membuat mereka melupakan passion utama mereka, yaitu bermusik. Kamu bisa belajar untuk memperjuangkan hal yang kamu cintai dari mereka.

10. Mahasiswa Kukur-Kukur


Kukur-kukur = kuliah kursus-kuliah kursus 

Mahasiswa oportunis ini akan mengikuti berbagai macam training, seminar, workshop, penyuluhan, kursus, les dan semacamnya. Ada yang mengincar sertifikat atau piagam untuk memperindah daftar riwayat hidupnya, ada yang ingin menyerap ilmu sebanyak-banyaknya, ada yang ingin menambah koneksi dan ada juga yang mencari konsumsi gratisan (terutama mayoritas mahasiswa nge-kost). Belajarlah untuk melihat peluang dari mahasiswa tipe ini.

11. Mahasiswa  Kuper-Kuper


Kuper-kuper = kuliah perawatan-kuliah perawatan
Tahukah kamu bahwa beberapa profesi walaupun di luar dunia hiburan, ada yang memandang penampilan sebagai syarat masuknya. Mahasiswa tipe ini membiasakan diri untuk mampu memenuhi kualifikasi itu. Tidak harus profesi yang mengharuskan mereka untuk berpenampilan menarik, namun terbiasa untuk berpenampilan menarik akan memberikan nilai lebih. Jadi kamu akan menemukan beberapa teman kuliah yang tampil kinclong dan warna atau model rambut berganti-ganti. Kamu bisa belajar menghargai diri sendiri dari mereka.

12. Mahasiswa Kusut-Kusut


Kusut-kusut = kuliah syuting-kuliah syuting
Syuting itu tidak melulu untuk film atau iklan. Sudah tidak jarang lagi kita melihat mahasiswa yang syuting untuk akun YouTube, instagram dan media lainnya di mana mereka menjadi selebritis di sana atau setidaknya mencoba untuk menjadi salah satunya. Mereka akan terlihat mengabadikan aktivitas-aktivitas mereka di manapun. Kamu perlu belajar cara menarik perhatian publik dari mereka.
Tipe yang manapun kamu, kamu perlu menciptakan momen-momen berharga saat kuliah yang nantinya akan kamu kenang selalu. Manfaatkan waktumu dengan baik dan jadilah dirimu sendiri. Walau kamu pikir ceritamu di kampus biasa saja, itu mungkin dapat menginspirasi mahasiswa lain, karena jenis mereka ada banyak sekali.



Rabu, 03 Agustus 2016

Difabel dan Hak Pendidikannya



Mungkin tidak banyak masyarakat yang mengetahui tentang makna dan eksistensi difabel. Difabel pada prinsipnya berasal dari kata difable diambil dari Bahasa Inggris, different ability people, yang artinya (kurang lebih) adalah orang-orang yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan dibandingkan dengan kondisi orang-orang normal pada umumnya. Dalam perjalanannya, pengguna Bahasa Indonesia lebih cenderung menggunakan istilah difabel daripada difable.

Perbedaan ini melekat secara alamiah (dibawa sejak lahir) atau terjadi karena faktor insidental (kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik/mental permanen). Singkatnya, secara harfiah difabel dapat diartikan sebagai penyandang cacat jasmani atau cacat mental. Secara alamiah, para difabel terbentuk sejak lahir dengan potensi dan kemampuan unik (unique abilities) dalam melakukan rutinitas kegiatan sehari-hari, melakukan interaksi sosial, proses penyelesaian masalah, hingga kemampuan untuk menghasilkan karya-karya yang luar biasa, layaknya, atau bahkan melampaui kemampuan non-difabel sendiri.

Berbicara difabel dan hak pendidikan, maka kita bisa mengaitkannya dengan mata rantai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 4 ayat 1, yang menegaskan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”, serta diperkuat pula dengan argumentasi Pasal 5 UU Sisdiknas mengenai hak dan kewajiban warga negara yang berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dan masih banyak lagi UU yang memberikan legitimasi dan ruang bagi difabel.

Dari tataran argumentasi diatas, sangat jelas bahwa difabel memiliki hak mutlak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Memiliki hak untuk menikmati pendidikan secara demokratis dan berkeadilan. Tentu, dengan rambu-rambu dan mekanisme khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ia tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, bahkan menjadi bagian dari dinamika sosial itu sendiri.

Keberadaan difabel, mau tidak mau, suka atau tidak suka, mengundang ragam opini ditengah-tengah masyarakat yang mejemuk. Sebagian memiliki konsepsi bahwa difabel adalah pribadi yang memiliki keterbatasan kemampuan dibawah rata-rata normal, dan akan selamanya hidup dalam keterbatasan itu. Dalam perjalanannya, difabel dianggap akan lebih sering berjibaku dengan kesulitan-kesulitan hidup. Kesulitan mengusir rasa sepi dan hampa. Termasuk kesulitan untuk menunjukkan eksistensinya sekalipun. Pada titik ini, ruang untuk difabel semakin sempit. Hak untuk berekspresi dan berkarya layaknya dikebiri.
Sebagian masyarakat yang lain justru menganggap keberadaan difabel adalah bagian integraldari denyut pergerakan dan perubahan sosial. Mereka dianggap turut memberikan kontribusi positif bagi lingkungan hidup disekitarnya. Pribadi yang memiliki sensitifitas tinggi dalam membangun peradaban, mampu membentuk tatanan sosio-kultural yang baik, bahkan mampu menjadi pioneer penggerak roda pembangunan bangsa.  

Ironisnya, banyak peristiwa-peristiwa memilukan yang banyak kita jumpai di lapangan. Kaum difabel harus hidup dalam keterpurukan. Kenistaan. Karena dianggap bukan siapa-siapa dan tidak memberi pengaruh apa-apa bagi kehidupan dan peradaban masyarakat. Orangtua yang memiliki anak difabel cenderung menganggap bahwa anaknya tersebut adalah “aib” yang harus disembunyikan jauh-jauh dari perhatian masyarakat. Mereka terpaksa harus tinggal dibalik “penjara” yang pengap, atau hidup berteman pasung di kedua kakinya, jauh dari hiruk pikuk dan geliat zaman, diam dengan tatapan kosong, melihat dalam gelap, bak menyusuri lorong senyap seorang diri.

Pemandangan yang sangat miris ini tentu bukan harapan kita semua. Upaya pemerintah untuk mengentaskan jumlah difabel dengan program-program rehabilitasi harus terus ditingkatkan secara masif, merata, efektif, dan berkesinambungan. Sosialisasi kepada semua elemen masyarakat dengan taraf intellegency yang rendah  harus terus digalakkan. Kerjasama yang sinergis antara stakeholder dengan masyarakat terkait penanggulangan angka difabel pun harus terus digalakkan. Diharapkan dengan langkah-langkah yang strategis dan sistematis, maka permasalahan-permasalahan difabel perlahan tapi pasti akan bisa terselesaikan. Bukan lagi menjadi pekerjaaan rumah yang belum terselesaikan dari waktu ke waktu.

Jika kita berani jujur dan mau mengakui dengan kebesaran hati, banyak dijumpai difabel yang justru berhasil mengukir prestasi gemilang jauh melampaui kemampuan non-difabel yang tidak menyandang kekurangan secara fisik dan mentalitas. Sederet nama kelas dunia seperti Helen Keller, Albert Einstein, Agatha Christie, atlet-atlet Indonesia berprestasi, seperti Stephanie Handojo (atlet renang), David Jacobs (atlet tenis meja), Ni Nengah Widiasih (atlet angkat berat), adalah segelintir para difabel yang mampu menunjukkan jati diri dan potensi yang luar biasa.

Kesimpulannya, marilah kita senantiasa menerima dan menghargai keberadaan difabel ditengah-tengah kehidupan kita. Mari kita merevisi pemahaman yang keliru bahwa difabel adalah orang-orang yang memiliki kekurangan dan keterbatasan, dan karena kekurangan dan keterbatasan tersebut maka ia hanya bisa pasrah dan tidak bisa menjadi manusia yang produktif. Berada pada zona diskriminatif berkepanjangan.


Sebaliknya, pemahaman yang harus direkonstruksi adalah bahwa kaum difabel didefinisikan sebagai manusia-manusia yang diciptakan dengan perbedaan, namun dengan perbedaan itu pula mereka justru memiliki kekuatan dan optimisme yang tinggi untuk bangkit dan berprestasi. Lantas, jika difabel saja mampu bersyukur dengan bukti nyata dan kerja keras hingga sukses menggapai cita-cita, bagaimana dengan kita yang (dianggap) memiliki segalanya?